Hak Istimewa dari Doanya Orang Kristen
1 Januari 2023
Artikel oleh Jon Bloom
Staf penulis, desiringGod.org
Jika Anda berpikir tentang Allah sebagai Bapanya Anda (dan jika Anda biasanya menyebut Allah sebagai Bapa ketika berdoa), maka Anda harus berterima kasih pada Yesus. Karena sebelum zaman Yesus, tidak seorang pun – tidak dalam Yudaisme atau dalam tradisi agama lainnya – yang berbicara tentang Allah (atau berbicara kepada Allah) sebagai Bapa dengan cara seintim yang dilakukan Yesus.
Memang benar kalau umat dalam Perjanjian Lama (PL) kadang-kadang menyebut Allah sebagai Bapanya bangsa Israel (Ula. 32:6; Mzm. 103:13) dan bahkan kadang-kadang memanggil-Nya Bapa ketika berdoa (Yes. 63:16). Namun, fakta bahwa mereka jarang melakukannya juga mengungkapkan bahwa mereka tidak berelasi dengan Allah sebagai seorang Bapa. Tentu saja tidak seperti apa yang dilakukan Yesus – yang juga merupakan cara Dia mengajar semua pengikut-Nya untuk berelasi dengan Allah.
Abba, Bapa
Melalui keempat Injil, ketika Yesus berbicara tentang Allah, Ia biasa menyebut-Nya sebagai Bapa-Nya. Ketika para penulis Injil mengizinkan kita untuk mendengarkan Yesus berdoa, kita mendengar Ia menyebut Allah sebagai Bapa.
Ini bukanlah sekadar metafora yang menawan bagi Yesus. Allah sebagai Bapa-Nya adalah realitas relasional yang mendasar bagi-Nya. Ini jelas ketika (sewaktu kita mendengar Yesus berdoa di Getsemani) Yesus berseru, ”Ya Abba, ya Bapa” (Mar. 14:36). Abba adalah istilah yang paling umum digunakan para penutur bahasa Aram ketika berbicara dengan ayah mereka di dunia — Yesus dan saudara-saudara seibunya akan menggunakan panggilan yang sama ketika berbicara pada Yusuf. Cara Yesus memanggil Allah secara intim seperti ini menimbulkan skandal dan kemarahan dari para pemimpin Yahudi. Mereka memahami Allah sebagai Bapa dalam konteks seorang pembuat tembikar disebut sebagai bapa atas ciptaan tanah liat-Nya (lihat Yes. 64:8). Namun, Yesus memandang Allah sebagai ”Abba, Bapa” seperti seorang anak memandang seorang ayah yang memperanakkannya. Bagi para pemimpin Yahudi, hal ini merupakan penghujatan yang layak dihukum mati karena ”Ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah” (Yoh. 5:18). Memang benar Yesus adalah Anak Allah — kenyataan yang secara tragis gagal dipahami mereka.
Yang mencengangkan, Yesus ”Anak Tunggal Bapa” (Yoh. 1:14) menginginkan semua murid-Nya (kita yang bukan anak-anak Allah apa adanya) untuk juga berelasi dengan Allah sebagai ”Abba, Bapa” kita. Karena ketika Yesus memberi kita model atau pola bagaimana berdoa (yang oleh orang Kristen selama berabad-abad disebut ”Doa Bapa Kami”), hal pertama yang diajarkan kepada kita adalah menyebut Allah sebagai ”Bapa kami yang di sorga” (Mat. 6:9).
Bapa kami yang di surga
Ketika mengutip ucapan Yesus pada bagian ini, Matius menggunakan kata Yunani pater, yang setara dengan Abba dalam bahasa Aram — sebuah panggilan sehari-hari yang umum digunakan semua orang untuk merujuk pada seorang ayah. Berhentilah sejenak dan renungkan betapa mencengangkannya ungkapan ”Bapa kami yang di surga” mengingat kenyataan yang diwakilinya: Allah sebagai Pater surgawi kita; Abba, Bapa.
Kecuali Anda dibesarkan dalam tradisi agama yang berbeda (bukan dalam Kekristenan), menyebut Allah sebagai ”Bapa kami” mungkin tidak akan membuat Anda dianggap lancang atau menyinggung. Itu mungkin terdengar sebagai sesuatu yang normal (sesuatu yang kita anggap sepele) seperti menyebut ayah kita di dunia kita sebagai ayah kita. Jika kita telah kehilangan rasa takjub karena bisa memanggil Allah sebagai Bapa kita, inilah saatnya untuk memulihkannya.
Bapa yang Kudus
Perlu diingat bahwa orang Yahudi yang saleh selalu menganggap nama perjanjian Allah, yaitu Yahweh (Kel. 3:14), begitu kudus sehingga mereka tidak berani mengucapkannya dengan keras. Ketika mereka menulisnya, mereka menyingkatnya menjadi YHWH supaya tidak mencemarkan nama suci Allah melalui bibir atau tangan manusia yang tidak suci. Bahkan dalam bahasa Inggris, banyak orang yang hanya akan menulis ”G–d” alih-alih ”God”.
Mereka memandang bukanlah hal yang sepele untuk membicarakan mengenai atau berbicara pada ”Yang Kudus Israel” (Mzm. 71:22). Memang, Dia yang kita sebut sebagai ”Bapa” ini adalah Dia yang kepada empat makhluk tersebut ”dengan tidak berhenti-jentinya mereka berseru siang dan malam: ’Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang” (Why. 4:8). Dia adalah ”Penguasa yang satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan. Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorang pun tak pernah melihat Dia” (1 Tim. 6:15–16). Tidak ada manusia biasa yang dapat melihat-Nya dan bisa tetap hidup (Kel. 33:20).
Bahkan Putra satu-satunya yang diperanakkan — Yesus yang ”pada mulanya adalah… bersama-sama dengan Allah dan… adalah Allah” (Yoh. 1:1); yang adalah ”gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol. 1:15); yang ditinggikan Allah dan dikaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama (Fil. 2:9) — Anak Allah yang kudus (Luk. 1:35) yang menyebut Allah sebagai ”Abba, Bapa” juga menyebutnya sebagai ”Bapa yang Kudus” (Yoh. 17:11).
Apa yang memberi kita — orang yang ”najis bibir” dan yang tinggal di tengah-tengah ”bangsa yang najis bibir” (Yes. 6:5) — hak untuk memanggil Yang Mahakuasa sebagai ”Bapa kami”? Bapa kita yang kudus itu sendiri dan Putra-Nya yang kudus (Juruselamat kita) yang memberi kita hak istimewa yang tak terduga ini.
”Lihatlah, betapa besarnya kasih (yang dikaruniakan) Bapa”
Adalah baik bagi jiwa kita untuk berhenti sejenak dan merenungkan kebapaan Allah yang mencengangkan bagi kita (terutama ketika istilah tersebut telah menjadi terlalu familiar) sehingga kita dapat melihat dengan mata-yang-baru akan hati bapa-Nya Allah bagi kita. Itulah yang diinginkan Roh Kudus, melalui Rasul Yohanes, bagi kita:
”Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah” (1 Yoh. 3:1).
Dan kasih macam apa yang telah Bapa berikan kepada kita?
”Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yoh. 4:9-10).
Bapa begitu mengasihi kita sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal sehingga kita dengan percaya kepada Yesus menjadi tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16). Yesus begitu mengasihi kita sehingga Ia rela menyerahkan nyawa-Nya bagi kita (Yoh. 15:13) untuk menjadi pendamaian bagi dosa-dosa kita.
”Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh. 1:12-13).
Bukanlah hal yang sepele bagi kita untuk memiliki hak untuk menyebut Yang Kudus dari Israel sebagai Bapa kita; dan diri kita sendiri anak-anak-Nya. Dengan harga-yang-mahal:
”…. Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya” (Efe. 1:3-6).
Lihatlah dengan mata-yang-baru betapa indahnya kasih yang telah diberikan oleh Bapa-yang-kudus dan Anak-yang-kudus kepada kita sehingga kita disebut sebagai anak-anak Allah.
Berdoalah demikian
Lautan kasih yang murah hati ini, mukjizat besar penebusan pengganti ini, karunia yang mendalam-dan-misterius ini karena diadopsi oleh dan dilahirkan dari Allah, adalah sebabnya mengapa ketika murid-murid Yesus bertanya pada-Nya bagaimana mereka harus berdoa kepada Allah, Dia berkata,
”Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu” (Mat. 6:9).
Allah tidak ingin kita berelasi dengan-Nya sebagai seorang subjek belaka yang berhubungan dengan seorang raja; atau sebagai seekor domba belaka yang berhubungan dengan gembalanya. Pada dasarnya, Dia ingin kita berhubungan dengan-Nya sebagaimana seorang anak berhubungan dengan seorang ayah yang penuh kasih dan murah hati yang suka memberikan hal yang baik ketika anak-anaknya meminta pada-Nya (Mat. 7:7-11). Seperti yang ditulis Michael Reeves:
”Ketika seseorang dengan sengaja dan percaya diri memanggil Yang Mahakuasa sebagai ”Bapa”, itu menunjukkan bahwa mereka telah memahami sesuatu yang indah dan mendasar tentang siapa Allah itu dan untuk apa mereka diselamatkan. Bagaimana semuanya itu seharusnya memenangkan hati kita untuk kembali kepada-Nya! Karena fakta bahwa Allah Bapa merasa bahagia dan bahkan senang berbagi kasih-Nya bagi Anak-Nya dan dengan demikian dikenal sebagai Bapa kita mengungkapkan betapa murah hati-dan-baik-Nya Allah” (Delighting in the Trinity, 76).
Jika Anda berpikir tentang Allah sebagai Bapanya Anda (dan jika Anda biasanya menyebut Allah sebagai Bapa ketika berdoa), maka Anda harus berterima kasih pada Yesus (dan Bapa) – bukan hanya karena Dia mengajari Anda untuk melakukannya, melainkan karena Dia (dan Bapa) telah memberi Anda hak untuk melakukannya. Baik Bapa maupun Anak telah menyediakan Roh Kudus bagi Anda — ”Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: ”ya Abba, ya Bapa!” (Rom. 8:15). Manfaatkanlah kasih karunia ini dengan baik karena Bapanya Anda di surga berkenan pada anak-anak-Nya.
***
Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "We Call Him ‘Father’ : The Privilege of Christian Prayer."