Anak-anak Perlu Mengalami Krisis Iman:

Delapan Nasihat Mengenai Pengasuhan Bagaimana Melewati Keraguan

23 Maret 2018
Artikel oleh Jon Bloom
Staf penulis
, desiringGod.org

Saya dan istri memiliki lima anak. Kedua anak tertua kami sudah meninggalkan masa kanak-kanaknya dan sedang berpetualang ke masa dewasa-muda mereka yang belum ada petanya. Tiga anak lainnya sedang mencari-cari arah di perairan dunia remaja yang sulit. Sebagai orangtua, kita memiliki hak istimewa yang sakral, luar biasa, mengerikan dan kadang-kadang menyakitkan untuk ikut berbagi dalam semua perjalanan hidup yang unik ini.

Biasanya, saya tidak cepat memberi nasihat soal pengasuhan anak. Kami masih berjuang dalam hal itu sehingga tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai pakar. Kami lebih sering meminya nasihat; bukan memberi nasihat.

Salah satu sumber nasihat baru yang indah yang kami temukan adalah melalui anak-anak kami yang (sekarang) sudah dewasa. Pengalaman masa kanak-kanak dan masa remaja mereka, serta cara pengasuhan kami yang baik maupun yang kurang baik, masih sangat segar. Namun, ada jarak yang cukup bagi mereka untuk secara matang merefleksikan pengalamannya dan ada rasa percaya yang memadai di antara kami (puji Tuhan!) sehingga mereka bisa berbagi dengan kami apa adanya. Itu sangat berharga dan membuat kita rendah hati ketika melihat anak-anak kita telah bertumbuh menjadi dewasa dan menjadi konselornya kita. 

Di Mana Semuanya Itu Dimulai Bagi Anak-anak

Baru-baru ini, istri saya berbagi dengan salah satu anak kami yang sudah dewasa tentang beberapa pergumulan rohani dan pertanyaan adik-adiknya Anak kami yang sudah dewasa menjawab, ”Di situlah semuanya dimulai.”

Itu adalah jawaban bijaksana dari orang yang sudah memperoleh hikmat bijaksananya dengan susah payah. Mereka berbicara dari pengalamannya, setelah mereka melewati berbagai masa pergumulan rohani yang sulit, dan kadang-kadang gelap, ketika mereka masih remaja. Mereka menemukan bahwa masa-masa seperti ini cepat atau lambat akan dijumpai oleh hampir semua orang percaya: ”Terang dunia bersinar paling terang di dalam kegelapan” – di dalam kegelapannya kita (Yoh. 1:5).

Benar-benar melihat, merasakan, menghargai, dan memercayai Yesus Kristus hampir selalu dimulai dari sebuah krisis. Dampaknya bagi orangtua Kristen memang mengkhawatirkan. Jika anak-anak kita akan melihat Sang Terang, maka kemungkinan besar mereka harus mengalami kegelapan. Itu berarti kita akan ikut melaluinya bersama mereka dan mengalami ketidakberdayaan ketika melihat hasil yang sulit kita terima.

Sebagai orangtua, kita menghabiskan banyak waktu-dan-tenaga mencoba melindungi anak-anak kita dari kekuatan Iblis serta dosa di dalam dunia (yang memang seharusnya begitu). Kita berusaha keras mengarahkan mereka pada Injil sehingga mereka terbebas dari perbudakan yang mengerikan dari dosa mereka sendiri (yang memang seharusnya begitu). Kita menghibur, meyakinkan dan menasihati. Kita mengingatkan, menegur serta memarahi (yang memang seharusnya begitu).

Namun, semua upaya yang dicurahkan untuk melindungi dan mengajar anak-anak kita bisa membuat kita rentan terhadap penyesatan (meskipun kita tahu bahwa jika kita melakukan tugas kita dengan baik, maka anak-anak kita akan berlayar dari masa kanak-kanak ke masa dewasanya melewati lautan yang tenang dan tiba di tempat tujuan dengan iman yang teguh di dalam Kristus). Kita lupa bahwa Kristus sendiri pun ketika ”mengasuh” murid-murid-Nya tidak mengalami hal yang sedemikian lancar. Di laut yang bergeloralah, bukan di perairan yang tenang, para murid mulai memahami apa arti iman yang sesungguhnya (Luk. 8:22-25).

Anak-anak kita mungkin memang harus mengarungi laut yang ganas, sesuatu yang kita takutkan akan menelan mereka, sebelum mereka sungguh-sungguh belajar untuk merasa takut-dan-percaya pada Kristus. Maka, sebagai orangtua kita harus menyiapkan diri dan berdoa dengan sungguh-sungguh untuk menghadapi ombak laut yang bergulung-gulung tersebut karena itu akan menjadi perjalanan-yang-mengerikan bagi kita juga.

Mengasuh dengan Setia

Walaupun saya enggan memberi nasihat tentang pengasuhan, saya dan istri sudah melewati cukup banyak gelombang dengan anak-anak kami sehingga kami bisa membagikan beberapa nasihat. Bukan sebagai pakar pengasuhan bagaimana melewati krisis iman anak, tetapi sebagai teman seperjalanan yang berbagi dari pengalaman pribadi– krisis imannya saya sendiri; juga anak-anaknya saya. 

1. Berharaplah agar anaknya Anda mengalami krisis iman.

Sebenarnya, lakukan lebih dari sekadar mengharapkan; berdoalah supaya hal tersebut terjadi. ”Krisis iman” yang saya maksudkan bukan kehilangan iman – suatu periode kemurtadan – meskipun bagi sebagian orang seperti itulah yang dimaksud krisis. Yang saya maksud adalah peristiwa apa pun yang Allah tahu kalau semuanya itu diperlukan untuk membangkitkan iman sejati anak-anak kita – satu musim atau serangkaian situasi ketika mereka diperhadapkan pada sebuah krisis yang memaksa mereka melatih iman mereka sendiri; mengalami sendiri bahwa Allah ada dan Dia memberi upah kepada mereka yang mencari Dia (Ibr. 11:6). Saya sadar kalau berdoa supaya anak kita mengalami krisis iman mungkin terdengar aneh. Namun, jika kita ingin mereka mengalami sukacita yang terdalam, kita akan mendoakan supaya ada ujian bagi iman mereka (Yak. 1:2-4).

2. Berharaplah agar krisis imannya anak Anda berbeda dari Anda.

Melalui cara-cara tertentu, Allah sudah mengajar Anda untuk berjalan dengan iman, bukan karena melihat. Namun, kemungkinan besar Dia akan memperlakukan anak Anda secara berbeda. Mereka mungkin bergumul dalam berbagai hal, masalah, dan pertanyaan yang tidak Anda miliki. Hal yang asing mungkin terlihat menakutkan, tetapi itu tidak asing bagi Allah. 

3. Berharaplah agar Anda merasa tidak bisa menolong.

Ada saat di mana Allah memutuskan untuk mengajar anak-anak kita untuk memercayai-Nya melalui cara yang terpisah dari kita. Biasanya, Dia tidak memberitahu kita mengenai kapan Dia akan memulainya. Tiba-tiba saja kita menyadari bahwa kita berdiri di batas luar lingkaran pergumulan anak kita sehingga kita  tidak bisa mengakses atau memberi pengaruh seperti yang dulu kita miliki (atau yang kita pikir kita miliki). Kita tidak yakin ke mana mobil ini berjalan dan kita tidak punya kendali untuk mengarahkannya. Kita harus menahan diri untuk tidak merasa panik atau berusaha merebut kemudi. Kedua hal tersebut cenderung hanya akan memperburuk keadaan. Situasi seperti itu seringkali menjadi krisis iman bagi kita juga ketika kita harus belajar memercayakan anak-anak kita sepenuhnya pada Allah. 

4. Berusahalah menjadi tempat yang aman dalam krisis.

Dalam sebuah krisis, salah satu anaknya saya mengaku bahwa mereka tidak merasa aman untuk berdiskusi dengan saya tentang berbagai pertanyaan teologis yang sedang digumuli. Ayah mereka adalah salah satu pendiri sebuah pelayanan Kristen dan pendeta paruh waktu di gereja. Rasanya hanya ada satu jawaban yang bisa diterima.

Sejak saat itu, saya mencoba untuk membagikan kepada mereka mengenai perjalanan imannya saya sendiri; mengenai berbagai krisis dan hal lain yang membuat saya menjadi seperti sekarang ini. Saya berusaha untuk lebih terbuka dengan merek. Walaupun memegang keyakinan teologisnya saya dengan sungguh-sungguh, saya tidak berharap mereka mengadopsi semuanya itu tanpa kritik. Mereka juga tidak perlu terburu-buru menjadi remaja yang bagi saya perlu waktu bertahun-tahun dan banyak ujian untuk mencapainya.

Kita tidak selalu bisa mengontrol apakah kita dianggap sebuah tempat yang aman oleh anak-anak kita. Namun, sebisa mungkin, kita harus berusaha menjadi tempat yang aman bagi mereka untuk mendiskusikan berbagai pertanyaan yang sulit dan melakukannya tanpa merasa dihakimi. Ini tidak mudah bagi orangtua yang sudah menginvestasikan banyak hal pada anak-anaknya. Namun, kita harus berusaha (terutama) untuk cepat mendengar dan lambat berbicara.

5. Jangan menilai keseluruhan cerita hanya dari satu bab.

Kita harus mencoba untuk menempatkan krisis imannya anak-anak kita dalam perspektif – tidak peduli berapa lama. Kita bukan Allah. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Kita seharusnya tidak berasumsi bahwa kita tahu bagaimana akhir ceritanya. Kebanyakan tokoh Alkitab memiliki bab-bab kehidupan di mana kadang-kadang  kereta mereka seolah-olah sudah berjalan keluar dari relnya. 

6. Kejarlah kesetiaan.

Kita bukan penulis kisah hidupnya anak-anak kita. Mereka juga bukan. Allah adalah Sang Penulisnya. Allah tidak memanggil kita untuk menentukan hasil imannya anak-anak kita. Dia memanggil kita untuk ”berdiam di negeri [pengasuhan] dan berlaku setia” (Maz. 37:3). Tujuan kita adalah mengikut Yesus dengan setia; mengatakan apa yang Dia berikan kepada kita untuk kita katakan dengan setia; dan untuk mengasihi anak-anak yang Allah berikan pada kita sebaik mungkin, apapun yang terjadi.

7. Berdoalah tanpa henti-hentinya.

Bagian dari kesetiaan adalah tidak berhenti berdoa agar anak-anak kita, ”dilahirkan kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan” (1 Pet. 1:3) dan dipenuhi dengan pengetahuan akan kehendak-Nya dalam segala hikmat dan pengertian rohani (Kol. 1:9).

8. Percayalah pada Allah. 

Ini adalah titik awal-dan-akhir bagi pengasuhan anak-anak kita, baik di dalam badai gelombang  atau air yang tenang. Kita ingin anak-anak kita mencapai kedewasaan di dalam Kristus. ”Itulah yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa-Nya, yang bekerja dengan kuat di dalam aku” (Kol. 1:29). Namun, pada akhirnya kita tidak memercayai usaha kita sendiri. Pada akhirnya kita memercayakan semuanya pada Allah. Ketika anak-anak kita menanggung berbagai krisis iman, kita menantikan Tuhan (Maz. 27:14).

Di Mana Semuanya Dimulai

Masih banyak hal yang bisa-dan-seharusnya disampaikan. Saya sangat menyadari kalau krisis imannya anak-anak kita, apa pun yang menyebabkannya, dan berapa lama krisis itu berlangsung memang sangat bervariasi. Sama seperti halnya orang dan pengalamannya juga bervariasi. Sebagai orangtua, saya tahu kalau hal-hal ini bisa menjadi saat yang menakutkan karena dalam beberapa kasus sebuah krisis justru menghasilkan penolakan iman (dan tidak menghasilkan bukti adanya iman). Namun, walaupun demikian, itu tetap bukanlah akhir ceritanya.

Mengasuh anak bukanlah untuk orang yang lemah hatinya. Mengasuh anak adalah untuk orang yang beriman; orang yang menjadikan Allah sebagai gunung batu bagi hatinya (Maz. 73:26, AYT). Dialah Sang Pencipta dan Penyempurna iman kita – dan iman anak-anak kita (Ibr. 12:2). Sebagaimana awan besar dari para saksi Alkitab dan sejarah mengingatkan kita (Ibr. 12: 1), seringkali ketika krisis melanda, di situlah semuanya justru dimulai.

***

Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "CHILDREN NEED A CRISIS OF FAITH: Eight Lessons from Parenting Through Doubt
."

You may also like...

Tinggalkan Balasan