Mematahkan Kuasa Dosa
2 Mei 2017
Artikel oleh Jon Bloom
Staf penulis, desiringGod.org
Biasanya saya berdoa sambil berjalan kaki. Bagi saya, itu praktis. Saya bisa berkonsentrasi lebih baik dan tidak sampai tertidur. Hal itu juga menjadi kiasan. Kiasan alkitabiah yang sering dipakai untuk merujuk kehidupan iman adalah ”berjalan dengan Tuhan” (Kej. 5:24; Ul. 11:22; Kol. 1:10).
Baru-baru ini, ketika saya sedang berdoa sambil berjalan kaki, Kitab Mikha 6:8 terlintas di kepala saya secara jelas dan tajam (yang sering terbukti sebagai dorongan dari Roh Kudus). Saya membuka ayat itu di aplikasi smartphone dan membacanya: ”Dia telah memberitakan kepadamu apa yang baik, hai manusia, dan, apakah yang TUHAN cari dari padamu selain untuk melakukan keadilan dan mencintai kemurahan [hati], dan untuk berjalan dengan rendah hati bersama Allahmu” (Mik. 6:8 – MILT).
Dua kata, ”mencintai kemurahan [hati]”, menghentikan langkah saya. Perintah ini memindai hati saya seperti sebuah lampu sorot. Apakah saya benar-benar mencintai kemurahan hati? Atau apakah saya sering kali menyukai gagasan tentang kemurahan hati? Saya sering berdoa, ”Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku” (Maz. 139:23). Allah menjawab permintaannya saya.
Pengujian hati ini berlanjut sampai pada akhir ayat. Apakah saya benar-benar ”melakukan keadilan”? Atau apakah saya sering kali menekankan gagasan keadilan? Apakah ”melakukan keadilan”-nya saya terkait dengan ”tidak melakukan ketidakadilan” bagi diri sendiri semata, tetapi jarang terkait dengan mengejar keadilan untuk orang lain?
Kitab Mikha 6:8 menelanjangi saya. Saya bisa menyukai ide-ide abstrak tentang keadilan dan cinta kasih, tetapi mengabaikan tindakan konkretnya. Hal ini menegur saya. Saya tidak bisa ”melakukan keadilan” atau ”mencintai kemurahan” tanpa mengasihi sesama secara nyata. Itu merendahkan hati saya. Itulah yang diperintahkan oleh Sang Dokter jika saya betul-betul siap untuk berjalan bersama-Nya.
Melakukan Keadilan
Kedagingan saya lebih suka perintah untuk ”mencintai keadilan”. Dengan begitu, keadilan menjadi lebih abstrak. Menekankan apa yang abstrak selalu lebih mudah daripada melakukan apa yang nyata.
Sebagai contoh, jika ditanyakan, secara maya semua orang akan menyatakan bahwa mereka mencintai keadilan. Namun, coba gali lebih dalam bagaimana seseorang secara spesifik melakukan keadilan, maka percakapan dengan cepat akan menjadi kikuk. Jauh lebih mudah untuk mengatakan ”mencintai keadilan” daripada ”melakukan keadilan”. Jauh lebih mudah untuk mengembar-gemborkan perlawanan terhadap ketidakadilan daripada melakukan tindakan nyata untuk menghentikan ketidakadilan. Gembar-gembor hanya membutuhkan sedikit usaha atau tidak sama sekali. Melakukan keadilan bersifat pribadi; memakan waktu; merupakan tuntutan yang menyedihkan hati.
Itulah sebabnya ketika orang bertanya kepada Yohanes Pembaptis seperti apa pertobatan itu, jawabannya seperti ini: ”Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya.” Atau, ”Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu.” Juga, ”Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu” (Luk. 3:11-14).
Menginsafi dosa dan memberi diri dibaptis itu baik, tetapi tidak cukup. Hati itu licik (Yer. 17:9). Transformasi hati yang sejati terungkap dalam tindakan keadilan yang nyata-dan-penuh pengorbanan.
Mencintai gagasan tentang keadilan itu murah. Namun, melakukan keadilan hampir selalu menuntut kita untuk mencintai orang yang rapuh atau tertindas dengan cara yang secara pribadi merugikan kita. Cinta yang sejati tidak murah. Allah menguji hati kita dengan jalan membuat keadilan itu menjadi nyata; sesuatu yang harus kita lakukan.
Mencintai Kemurahan Hati
Ketika berbicara tentang kemurahan hati, Allah membalikkannya dan memerintahkan kita untuk ”mencintai kemurahan [hati]”, bukan ”melakukan kemurahan”. Mengapa? Karena perintah untuk ”mencintai kemurahan [hati]” punya efek menyakitkan yang sama seperti perintah untuk ”melakukan keadilan”.
Kedagingan saya lebih suka (hanya sedikit) perintah untuk ”bermurah hatilah”. Dalam hal ini, jika dibandingkan dengan perintah untuk mencintai, perintah untuk bermurah hati lebih mudah untuk diatur-dan-diukur (terutama bila diukur-dan-dibandingkan dengan orang lain).
Namun, perintah untuk ”mencintai kemurahan [hati]” menusuk ke dalam hati. Ini lebih menuntut daripada sekadar bermurah hati, yang dengan mudah akan mengalami penyempitan makna menjadi ”tindakan berbuat baik yang sesekali”. Mencintai kemurahan hati menuntut orientasi sikap hati yang mendalam yang akan membentuk semua tindakan kita.
Perintah ini juga menolak keabstrakan. Mencintai kemurahan hati merupakan sebuah bentuk kasih, karena ”kasih itu murah hati” (1 Kor. 13:4). Kita tidak bisa mencintai kemurahan hati tanpa mencintai orangnya. Kita mungkin bisa mengelak dengan menyatakan kepada orang lain bahwa kita mencintai keadilan walaupun kita tidak melakukan banyak keadilan. Namun, sangat sulit mengelak jika kita berkata kalau kita mencintai kemurahan hati, tetapi orang lain mengenali kita sebagai orang yang sering bersikap kasar, defensif, egois, tidak sabar, mudah tersinggung, suka mengkritik, atau rela menginjak orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Kita menunjukkan apakah kita mencintai kemurahan hati (atau tidak) secara terbuka.
Seperti halnya melakukan keadilan, mencintai kemurahan hati itu mahal harganya. Hal itu hampir selalu menuntut kita mencintai orang lain dengan cara menempatkan kebutuhan-dan-pilihan mereka di atas kebutuhan-dan-pilihan kita. Kita tidak bisa mencintai kemurahan hati dan keegoisan pada saat yang bersamaan. Jadi, Allah menguji hati kita dengan membuat kemurahan hati bukan sebagai sesuatu yang kita lakukan, tetapi sebagai sesuatu yang kita cintai.
Berjalan dengan Rendah Hati
Ketika saya berdiri pada hari itu, membiarkan Roh Kudus menyinari hati saya dengan lampu sorot Mikha 6:8, berbagai kata, tindakan, dan non-tindakan yang tidak baik yang saya lakukan belakangan ini, melintas di benak saya bersama dengan wajah-wajah mereka yang menerima ketidakmurahan hatinya saya. Saya mulai dan melanjutkan pertobatan saya dari kegagalan untuk mencintai kemurahan. Ketika lampu sorot membuka kegagalan saya dalam melakukan keadilan, saya bertobat juga dan mencoba mencerna bagaimana seharusnya saya melakukan keadilan.
Roh Kudus memakai ayat ini di hati saya untuk memenuhi perintah ini. Sekali lagi, Roh Kudus mengatakan kepada saya apa yang dituntut oleh Allah. Ketika menyatakan hal itu, Dia menelanjangi dosanya saya. Ketika menelanjangi dosa itu, dengan lembut Dia menuntun saya pada pertobatan (Rom. 2:4). Ketika menuntun saya pada pertobatan, Dia mengajari saya untuk berjalan dengan rendah hati bersama Allah.
Berjalan dengan rendah hati di hadapan Allah berarti berjalan dalam pertobatan. Itu sebabnya mengapa dalil pertama dari 95 Dalil yang ditulis oleh Martin Luther berbunyi demikian, ”Ketika Tuhan dan Tuan kita, Yesus Kristus, mengatakan: ’Bertobatlah,’ Dia memanggil supaya segenap kehidupan setiap orang beriman menjadi suatu pertobatan.” Berjalan dalam pertobatan bukan berarti berjalan dalam penghukuman, tetapi berjalan dalam kemerdekaan. Karena Bapa mengasihi kita sesuai dengan kebaikan-Nya (Efe. 2:7), Ia mengutus Putra tunggal-Nya untuk menunjukkan keadilan bagi kita (Rom. 3:26), dengan kerendahan hati yang tertinggi (Fil. 2:5-8), sehingga kita bisa beroleh hidup kekal di mana kita mengenal-dan-menikmati Dia (Yoh. 3:16; Fil. 3:8-11).Mukjizat Injil yang mulia adalah apa yang dituntut Allah dari kita seperti dalam Mikha 6:8. Dia telah membayar lunas dan menggenapinya di dalam kita. Ketika Roh Kudus menginsafkan orang Kristen akan dosanya, Dia tidak pernah menghukum (Rom. 8:1). Lampu sorot-Nya adalah penebusan. Dia menelanjangi kita hanya untuk mematahkan kuasa dosa serta membuat kita semakin bebas berjalan seperti Kristus berjalan (1 Yoh. 2:6), yaitu untuk melakukan keadilan, mencintai kemurahan hati, dan berjalan dengan rendah hati bersama Allah.
***
Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul 'Lord, Search My Heart: Breaking The Power Of Canceled Sin.'