Yak. 2:9 (AYT)
Namun, jika kamu membeda-bedakan orang, kamu melakukan dosa dan dinyatakan sebagai pelanggar hukum oleh hukum.
Dosa ini sangat rentan dilakukan oleh seorang pendeta, khususnya mereka yang melayani sebagai gembala. Dengan kedagingan kita, bisakah kita memperlakukan jemaat yang turun dari Alphard dan yang datang dengan busway dengan kadar yang sama? Memang sulit untuk tidak terjatuh dalam dosa “membeda-bedakan orang” ini.
Tuhan tidak memerintahkan Gereja untuk memungut persepuluhan dari penghasilan jemaat (baca lebih lengkap di sini).
Karena ini bukan perintah Tuhan, tidak heran jika sistem persepuluhan membuat para gembala rentan tersandung oleh dosa “membeda-bedakan orang”. Jika persepuluhannya si A Rp 300 ribu, sementara si B Rp 300 juta, dengan daging kita yang lemah ini, mungkinkah kita memperlakukan mereka dengan sama? Persentase mereka memberikah yang kita perhitungkan? Atau nominalnya?
Sebaliknya, jika sistem persepuluhan tidak diberlakukan, para gembala tidak akan tahu dengan pasti berapa penghasilan para dombanya setiap bulannya. Meskipun bisa menebak-nebak dari penampilan luar mereka, paling tidak berapa penghasilan per bulan para dombanya tidak dinyatakan secara terang-terangan. Mari kita dengan jujur menganalisis situasi hari ini. Mereka yang dipercaya menjabat sebagai para penatua dan diakon di Gereja hari ini lebih sering karena mereka “orang benar” atau “orang kaya”? (1 Tim. 3:1-12).
Sebagai gembala, Saudara lebih suka yang menjabat itu “orang benar yang tidak kaya” atau “orang kaya yang tidak benar”? Yang satu hanya punya doa, tetapi tidak punya uang. Yang satunya punya uang, tetapi tidak merasa perlu berdoa. Yang mana yang Saudara pilih?
Maka, kiranya pernyataan Yakobus di Yak. 2:9 ini berbicara dengan lantang di hatimu.