Mengikut Allah Dalam Mengunjungi Mereka yang Kesepian dan Terluka

1 Mei 2018
Artikel Oleh: Scott Hubbard
Editor, desiringGod.org

Anak-anak di hadapan kami adalah mereka yang ditemukan di selokan, tempat sampah, gang, dan sudut kota yang sepi lainnya. Sebagian besar dari mereka lahir dengan cacat fisik atau cacat mental — beban yang terasa terlalu berat bagi orang tua yang sudah terpuruk di bawah kemiskinan. Jadi, mereka dibiarkan mati.

Tim kami melakukan perjalanan ke Tanduk Afrika (daerah di benua Afrika) dengan tujuan utama melatih sekelompok pendeta lokal. Namun, salah satu pemimpin tim mengoordinasikan kunjungan ke panti asuhan. Kami menimang bayi; tertawa bersama balita; menyemangati para staf; dan mendoakan anak-anak terlantar ini.

Waktu mau pulang, para staf berkumpul untuk berterima kasih pada kami karena telah berkunjung ke sana. Pada awalnya, rasa terima kasih mereka tampak sedikit berlebihan — hanya karena kunjungan singkat kami tersebut. Namun, saya mulai mengerti ketika seorang pria membagikan kalimat singkat namun mengejutkan: ”Tidak ada yang pernah berkunjung.”

Tidak Ada Pengunjung

Tidak seorang pun pernah berkunjung. Berbagai aktivitas berjalan melewati panti asuhan tersebut setiap hari — para pemilik toko, guru, petani, pengusaha — tetapi tidak ada yang pernah mengunjungi anak-anak di balik tembok tersebut. Ditinggalkan saat lahir, mereka masih ditinggalkan oleh tetangga yang terlalu sibuk untuk memperhatikan mereka.

Sejak kembali ke rumah, saya bertanya-tanya tentang orang-orang di sekitar saya yang mungkin menggemakan kata-kata yang kami dengar di panti asuhan. Tetangga seperti apa; anggota gereja seperti apa; kerabat seperti apa yang melihat sekumpulan orang yang berjalan melewati mereka sementara mereka diam-diam merindukan adanya pengunjung?

Orang Barat mungkin tidak berjalan melewati banyak panti asuhan. Namun, kita terus-menerus berjalan melewati orang-orang yang merasa dilupakan, diabaikan, dan sangat kesepian. Mereka adalah orang yang tertekan; orang cacat; orang yang canggung secara sosial; orang yang berduka; orang yang sudah tua. Meski sering dikerumuni orang, banyak dari mereka yang paling terluka jarang menerima tamu. Mereka jarang menemukan seseorang yang tidak hanya lewat sambil tersenyum, tetapi juga bersedia untuk mampir, duduk, dan singgah. Seseorang yang akan turun ke rawa lumpur masalah kompleks mereka dan meletakkan tangan yang lembut di bahu mereka.

Kapan terakhir kali Anda menyimpang dari lingkaran keluarga dan teman, menyisihkan daftar tugas, dan hanya mengunjungi seseorang yang membutuhkan?

Kunjungan Para Murid

Tentu saja, kita bisa memikirkan banyak alasan mengapa kita lalai mengunjungi mereka yang paling hancur di antara kita. Masalah mereka berduri dan mendarah daging; tanpa adanya perbaikan yang cepat. Rasa sakit mereka dapat menguras cadangan emosional kita sampai ke dasar yang kering. Berbagai tuntutan sudah bersandar ke kita dari segala arah — kebutuhan jiwa kita sendiri, masalah keluarga dan teman kita, tugas di tempat kerja atau sekolah.

Meskipun demikian, Kitab Suci berulang kali menggambarkan umat Allah sebagai umat yang berkunjung. Menurut Yakobus, urusan berkunjung terletak di dekat pusat kerohanian yang tulus: ”Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia” (Yak. 1:27). Menurut Yesus, mengunjungi adalah salah satu tanda yang tak tergantikan dari domba-domba-Nya: ”Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab… ketika Aku sakit, kamu melawat Aku” (Mat. 25:34-36). Murid-murid Yesus tidak hanya berkhotbah, bernyanyi, berdoa, dan melayani. Mereka juga mengunjungi.

Namun, jika kita tidak dapat menghindari panggilan Alkitab untuk mengunjungi mereka yang membutuhkan, kita juga tidak boleh lalai untuk mencoba. Perintah Bapa kita bukanlah pekerjaan yang memberatkan (1 Yoh. 5:3). Semuanya itu adalah undangan sukacita ke dalam hidup berkelimpahan yang dijanjikan Yesus (Yoh. 10:10). Termasuk urusan mengunjungi.

Di antara banyak dorongan Alkitab untuk mengunjungi orang yang terluka, pertimbangkanlah satu hal. Ketika kita mengunjungi, kita meniru Bapanya kita. Kita memberikan pada kelompok yang membutuhkan tersebut untuk memahami seperti apa Allah itu. 

Meniru Bapamu

Yang paling mendasar, alasan orang Kristen mengunjungi mereka yang membutuhkan adalah karena Allah melakukannya. Allah alam semesta adalah Allah yang mengunjungi; Allah yang tidak pernah terlalu sibuk untuk mengetuk pintunya orang hina dan mampir sebentar.

Dia mungkin mengawasi orbit tata surya yang jauh, tetapi Dia masih mengindahkan manusia, bahkan yang terkecil sekalipun (Mzm. 8:2-4). Dia mungkin duduk bertakhta ”di kediaman-Nya yang kudus,” tetapi Dia masih berteman dengan anak yatim, melindungi janda, dan menempatkan orang yang sebatang kara ke dalam rumah (Mzm. 68:5-6). Ia mungkin ”Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat”, tetapi Ia tetap menanggung penderitaan orang yang menderita. Ia juga seperti seorang perawat yang lembut yang membalut orang-orang yang patah hati (Ula. 10:17 –18; Mzm. 147:3).Ketika Zakharia memuji Allah atas rencana kedatangan Mesias, dia berkata, ”Terpujilah Tuhan, Allah Israel, karena Dia telah melawat dan menebus umat-Nya” (Luk. 1:68). Ketika Allah turun ke bumi, Dia datang untuk mengunjungi — untuk memuliakan orang-orang yang terbuang (Yoh. 4:7-10); untuk makan bersama dengan orang-orang yang hina (Mrk. 2:15-17); untuk menjamah para penderita kusta (Mat. 8:2-4); untuk mendengar mereka yang terlupakan (Luk. 18:35-43); dan untuk membangkitkan anak-anak Adam yang telah hancur dari debu kematian.

Ketika kita mengunjungi orang yang membutuhkan, maka kita mencerminkan gambaran Allah kita yang sedang berkunjung. Kita bergabung dengan Yesus di jalan kasih. Kita mengikuti jejak Bapa kita.

Tunjukkan Allah kepada Mereka

Berkunjung memberi kelompok yang terluka untuk memahami seperti apa Allah itu. Ketika kita berkunjung, kita membawa serta berbagai janji Allah dan memberikan mereka ”tubuh” – tubuh kita sendiri. Kita membawa kesaksian Allah tentang diri-Nya dan membawanya ke ruang tamu; kedai kopi; dan teras depan. Ketika kita melakukannya, kita membantu orang-orang yang sedang putus asa untuk percaya bahwa Allah mungkin memang sebaik yang dikatakan-Nya.

Ketika kita mendengarkan seorang remaja berusia dua puluhan yang sedang tertekan, dengan kesabaran yang mantap, kita sedang mewujudkan ajakan Allah untuk datang dan mencurahkan isi hati Anda di hadapan-Nya (Mzm. 62:8).

Ketika kita berteman dengan tetangga yang autis dan berjuang untuk memahami dunianya yang aneh, kita menunjukkan, dalam skala kecil, pengetahuan dan perhatian-Nya Allah yang mendalam terhadapnya (Mzm. 40:5; 1 Pet. 5:7).

Ketika kita terlibat dalam percakapan dengan anggota dalam kelompok kecil yang terlihat canggung secara sosial (bukan karena kita ingin mencari pelarian), tetapi dengan mengajukan berbagai pertanyaan kreatif, maka kita menggambarkan sambutan hangat yang ditawarkan Yesus kepada kita dalam Injil (Rom. 15:7).

Ketika kita sedang berduka, tidak hanya dalam minggu-minggu setelah kehilangan, tetapi berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun kemudian, kita memerankan penyembuhan dan penghiburan-Nya Allah yang berkelanjutan dalam sebuah panggung mini (Mzm. 147:3; 2 Kor. 1:3).

Ketika kita mengunjungi panti jompo untuk mendengar cerita (bahkan ketika kita sudah mendengarnya sepuluh kali), kita menjadi simbol darah daging dari janji-Nya Allah, ”Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibr. 13:5).

Para Duta Besar 

Tentu saja, Allah dapat menggunakan firman-Nya untuk mengomunikasikan semua kebenaran tentang diri-Nya tanpa melalui seorang pengunjung. Dia sering melakukannya. Namun, Allah suka mengukir umat-Nya menjadi gambar-gambar kecil tentang diri-Nya dan mengirim mereka keluar sebagai duta besar bagi karakter-Nya. Dia suka membawa anak-anak-Nya ke ruangan di mana para pengunjung jarang masuk – baik di panti asuhan di Afrika atau di dapur di seberang jalan – dan mengungkapkan diri-Nya melalui berbagai tangan, pelukan, mulut, dan telinga.

Setiap hari, kita mungkin berjalan melewati orang-orang yang bisa mengucapkan kata-kata yang sama seperti yang saya dengar di panti asuhan: ”Tidak ada yang pernah berkunjung.” Saat kita mengunjungi mereka yang terluka, secara konsisten meniru Bapa kita dan memberitakan firman-Nya, maka tujuan kita bukan hanya untuk membuat mereka berkata, ”Seseorang akhirnya mengunjungi saya,” melainkan juga untuk meninggalkan mereka dengan perasaan kudus bahwa (melalui kita) Allah sendiri telah mengunjungi mereka.

***

Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "Follow God to the Lonely and Hurting
."

You may also like...

Tinggalkan Balasan