Disiplin Rohani dari Langit

Bagaimana Surga Membentuk Hati

 


1 November 2023
Artikel oleh Scott Hubbard
Editor, desiringGod.org


Kapan-kapan, pertimbangkan untuk melakukan eksperimen kecil. Ambillah jaket; pergi ke luar; cari lapangan rumput yang bagus untuk duduk atau berbaring; dan kemudian selama lima belas menit cukup menatap ke langit. Setelah melakukan eksperimen seperti itu sendiri, mungkin saya bisa memberi gambaran tentang apa yang diharapkan pada Anda.

Pertama-tama, berharaplah untuk merasa aneh. Kecuali Anda menemukan lapangan rumput pribadi, Anda mungkin menjadi objek tontonan dan kekhawatiran [dari orang-orang sekitar sana]. Dorong ketidaknyamanan tersebut ke belakangnya Anda dan [mulailah untuk] menatap.

Harapkan juga sedikit pengenalan kembali dengan unsur-unsur alam yang sering dihindari: sedikit embun di punggung, beberapa kutu daun di pergelangan tangan. Terimalah semuanya itu. Setidaknya selama lima belas menit ini, Anda menjadi orang yang suka beraktivitas di luar ruangan.

Lalu, mungkin sambil memandang ke atas, Anda mungkin bertanya-tanya apa saja yang ada di langit itu yang bisa membuat Anda sibuk selama seperempat jam ke depan. Merasa bosan, Anda mungkin merasakan keinginan untuk menggunakan ponselnya Anda; melihat jam tangannya Anda dan menemukan bahwa sepuluh menit belum berlalu – baru hanya empat menit.

Namun, pada akhirnya, Anda mungkin mulai menyadarinya . Anda melihat beberapa variasi di antara ombak [awan] di atas dan kata-kata dari kelas IPA waktu kelas enam dahulu mulai melayang di sampingnya. Apakah itu awan cirrus? Anda bertanya-tanya. Dan itu—apakah itu cumulonimbus? Anda membiarkan diri Anda melihat lagi melalui mata seorang anak kecil dan sekarang mengamati bukan awan, melainkan bentuk anjing laut, beruang, anjing, dan naga. Di antara gumpalan putih, Anda memata-matai bulan sabit yang memudar; yang sedang bergegas terlambat menuju peristirahatannya.

Dan kemudian, mungkin, Anda akan mulai merasa kecil karena beberapa meter persegi di bawah Anda tampak seperti foto kecil dalam bingkai besar. Sebuah pertanyaan mungkin akan terucap di bibirmu dengan perasaan yang baru: “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (Maz. 8:5).

Yang terakhir, jika Roh membuka mata dan telinganya Anda, maka Anda mungkin mendengar isyarat akan nyanyian hening yang selalu terdengar: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya” (Maz. 19:1). Anda mungkin tiba-tiba merasa tidak sendirian, namun terbungkus dalam hadirat Tuhan yang luas dan pribadi — mulia seperti matahari; tak terhindarkan seperti langit; dekat seperti hembusan udara berikutnya. Anda mungkin kembali menjalani harinya Anda dengan berbeda; membawa serta nyanyian langit.

Langit Menceritakan

Kata surga — yang biasanya merujuk pada langit — muncul sekitar tujuh ratus kali dalam Kitab Suci, mulai dari ayat pertama (“Pada mulanya Allah menciptakan langit [/surga] dan bumi”, Kej. 1:1) hingga bagian yang terakhir (“Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga…” Why. 21:2). Orang-orang suci pada zaman dahulu menemukan sesuatu yang pantas dilihat di atas langit sana. Mereka banyak melihat ke atas

Bagi mereka, langit sangatlah indah . Langit adalah istana untuk Raja Matahari dan Ratu Bulan (Kej. 1:16); jam surgawi yang menunjukkan hari dan musim (Kej. 1:14); tenda yang luas untuk anak manusia (Yes. 40:22); panggung bagi para pemainnya, yaitu awan dan angin; hujan dan kilat (Ayub 37:2–4). Kanvas yang diwarnai setiap hari. Langit-langit yang lebih indah dari Kapel Sistina. Seorang teman yang selalu akrab; yang selalu baru.

Namun, langit itu indah hanya karena semata-mata ada sesuatu yang lain: yaitu ada seorang Pribadi . Dari awan hingga konstelasi, dari terbitnya timur hingga terbenamnya barat, langit adalah karya-Nya Allah . Dia menamai bintang-bintang dan setiap malam meminta mereka bersinar (Maz. 33:6; Yes. 40:26). Dia menerbitkan matahari pagi dan menyebarkan bayangan tengah malam (Mat. 5:45). Dia melemparkan petir melintasi cakrawala dan membidik setiap tetesnya (Maz. 29:3–4; 147:15–18). Karena itu, bagi nenek moyang kita yang beriman, bentuk awan selalu menemukan caranya untuk menampilkan satu kata: K-E-M-U-L-I-A-A-N (Maz. 19:1; 29:9).

Sesuatu yang jauh di dalam diri kita menjawab kembali. Hari-hari yang kelabu menindas jiwa. Kabut asap tidak hanya menyumbat atmosfer, tetapi juga hati kita. Beberapa bulan yang lalu, ketika asap dari kebakaran hutan di Kanada menutupi langit Minnesota dengan abu, kerugian yang ditimbulkan sangat terasa. Kita mungkin merasa sama masamnya dengan Puddleglum. Meskipun demikian, kita tidak tahan tinggal di Underland.

Namun, rupanya, pada hari-hari biasa yang diwarnai biru dan putih, kita sanggup memandangi langit untuk sekilas. Sementara nenek moyang kita menelusuri wujud kebaikan-Nya Allah di awan, dan mendengar seruan kemuliaan-Nya dari matahari, kita sering kali berlari melintasi dunia dengan kepala yang tertutup; seperti orang yang memegang payung di hari yang cerah. Lima belas menit, bahkan di bawah langit yang penuh keajaiban akan terasa seperti sebuah peregangan.

Atap yang Bergerak

Beberapa kekuatan bersekongkol untuk menundukkan kita – ada yang baru, ada yang lama. Kita mungkin mengelompokkannya dalam dua kelompok utama: kita merasa kecewa dan terganggu .

Para penulis Alkitab memiliki tanda-tanda memiliki pesona-yang-suci terhadap langit; sebuah pesona yang sulit dihidupkan pada saat ini. Sebagian permasalahannya terletak pada kota-kota besar kita yang sudah dialiri listrik ketika [terang] lampu jalan menggantikan [terang] bintang. Firman-Nya Allah kepada Abram untuk menghitung jumlah cahaya di langit tidak terlalu berpengaruh bagi kaum urban seperti kita yang sering kali dapat menghitungnya dengan mudah. Bulan telah kehilangan laskarnya. Kita telah kehilangan rasa kagum.

Banyak juga yang merasa terlalu tercerahkan; terlalu ilmiah sehingga tidak terkesan dengan sihir dari langit biru dan mantra dari bintang. Orang zaman dahulu mungkin pernah mendengar bunyi jam langit. Kita telah membukanya dan melihat roda giginya. Karena itu, kita telah mendengar banyak orang cerdas mengatakan sesuatu yang serupa dengan sindirannya Stephen Hawking: “Umat manusia hanyalah sampah kimiawi di sebuah planet berukuran sedang; yang mengorbit di sekitar bintang yang sangat rata-rata di pinggiran luar salah satu dari seratus miliar galaksi.” Kata-kata seperti itu mengikis rasa kagum.

Namun, mungkin sebagian besar dari kita menghadapi musuh yang lebih besar: gangguan. Kita, pada dasarnya, adalah orang-orang yang terburu-buru dan tergesa-gesa; orang-orang yang membeli dan menjual; orang-orang yang terus memandang layar dan memakai headphone. Kita tidak punya waktu atau minat untuk memikirkan mengenai langit. Kita mungkin melihat gumpalan awan terpantul di layar, namun pengingat surgawi seperti itu jarang membangkitkan kita dalam ibadah yang membuat kita begitu menjiwainya Saya, misalnya, sering menghabiskan lebih banyak waktu untuk melihat aplikasi cuaca daripada cuaca itu sendiri.

Namun, bahkan ketika kita tidak terikat pada berbagai portal dalam saku kita, siapakah yang mempunyai waktu untuk berjalan dengan kecepatannya awan? Sebagai anak-anak, kita bisa meluangkan waktu sejenak untuk berbaring di atas rumput dan melihat berbagai bentuk binatang di langit. Namun, kini tidak lagi demikian. Sekarang, kita punya tempat untuk dikunjungi; orang-orang untuk dilihat. Sekarang, kita menjalani hari-hari kita dengan terburu-buru. Anda bisa berlari lebih cepat dengan kepala yang tertunduk.

Meninju Skylights

Di dunia seperti kita, dan dengan atap seperti kita, kita perlu menemukan cara untuk keluar dan melihat ke atas. Kita perlu melubangi beberapa skylight [jendela kaca di langit-langit] melalui plester ini. Bukan hanya karena sedikit keajaiban akan menimbulkan kekaguman bagi jiwa, melainkan juga karena( bagi mereka yang memahami Kitab Suci) langit menguatkan berbagai pelajaran yang penting dalam hidup ini. Lalu, apa jadinya jika kita terbiasa menatap warna birunya [langit] sambil memegang Alkitab?

Pertama, kita mungkin merasakan perasaan yang lebih mendalam akan kebesaran-Nya Allah. Para penulis Alkitab tidak membutuhkan teleskop untuk mengetahui betapa besarnya langit. Mereka juga tidak membutuhkan pengetahuan tentang galaksi untuk merasa dirinya kecil – bahkan terlalu kecil untuk dianggap penting (Maz. 8:4). Bagi mereka, langit sangatlah luas.

Meskipun sebegitu luasnya, semuanya itu hanyalah pekerjaan tangan-Nya Allah (Maz. 8:3), sebuah rumah yang terlalu kecil untuk menampung-Nya (1 Raj. 8:27). Langit selalu menjadi takhta raksasa-Nya Allah (Yes. 66:1). Astronomi modern (yang memberi tahu kita bahwa takhta itu lebih besar dari yang kita duga) hanya menggarisbawahi kehebatan Pribadi yang duduk di atasnya. Dia adalah “Tuhan atas langit dan bumi” (Kis. 17:24), melampaui langit hingga yang tak terhingga.

Namun, ketika kita mulai merasa kecil di bawah keagungan tersebut, maka kita mungkin juga merasakan perasaan yang segar akan kebaikan-Nya Allah. Jika Dia “menentukan jumlah bintang” dan “menyebut nama-nama semuanya”, maka tidak ada patah hati yang tersembunyi dari pandangan-Nya (Maz. 147:3-4). Jika langit menjulang hingga ketinggian yang tak terpikirkan, maka kasih setia-Nya Allah dalam Kristus harus melampaui berbagai asumsi kecil kita (Maz. 103:11). Jika Allah tidak pernah gagal menjalankan “ketetapan” langit, maka kesetiaan-Nya kepada orang-orang yang dikasihi-Nya tidak akan pernah berhenti tidak peduli betapa kelamnya malam atau larutnya fajar (Yer. 31:35-36).

Bagi mereka yang berada di dalam Kristus, langit di mana pun memberitakan perpaduan yang aneh antara kecilnya kita dan betapa pentingnya kita. [Kita adalah] orang-orang yang kecil, namun orang yang penting yang mempunyai cara yang luar biasa dalam menjalani hidup di dunia ini: rendah hati dan bahagia; tidak mementingkan diri sendiri dan merasa puas; rendah hati, namun luar biasa dikasihi oleh Tuhan penguasa surga.

Terang dari Terang

Namun, yang terpenting, langit memberikan pengingat yang besar dan selalu ada akan sebuah kebenaran besar yang selalu ada: kita diciptakan untuk Allah. Luasnya langit adalah tanda bahwa kita bukanlah yang menjadi pusatnya; lagunya adalah soundtrack dari sebuah cerita yang bukan cerita mengenai diri kita sendiri. Seperti planet kecil yang dibandingkan dengan matahari, maka kita mengorbit pada Allah, bukan pada diri kita sendiri. Sukacita dan kemuliaan kita terletak pada hidup di hadapan-Nya sama seperti kita hidup di bawah langit.

Suatu hari kelak, perumpamaan surgawi ini akan membuka jalan pada seorang Pribadi. Langit tidak hanya akan menyanyikan kemuliaan-Nya, tetapi juga akan memperlihatkan Yang Maha Agung. Langit, yang begitu kokoh dan familiar, akan “digulung seperti gulungan kitab” (Yes. 34:4) dan lirik cinta yang tertulis di sana akan memberi jalan kepada Tuhan yang penuh kasih.

Allah menabur permadani ini untuk dirobek. Dia membangun cakrawala ini untuk dihancurkan. Dia meletakkan balok-balok langit agar suatu hari nanti bisa menjadi panggung bagi Putra-Nya untuk kembali kelak.

Suatu hari, kelak Tuhan kita akan membelah langit, 
Sukacita atau ketakutan timbul dari setiap mata. 
Matahari akan terbenam di depan wajahnya. 
Bulan akan bergegas ke tempatnya. 
Setiap bintang akan melihat pemandangan itu. 
Kemuliaan surga akan menyala terang. 
Bintang Kejora akan mengambil takhtanya 
Terang dari segala terang akan bersinar sendirian.

Maka, pandanglah ke atas, seperti seseorang yang berada dalam kegelapan sedang merindukan fajar. Tunggulah di jendela ini seperti seorang istri yang mendengar perang telah berakhir; yang menunggu suaminya pulang. Bertemanlah dengan jalan ini di mana Tuhan kita akan segera kembali. Anggaplah saja sebagai sesuatu yang bermanfaat, bahkan sesekali, untuk berhenti dan mendengarkan lagi nyanyian dari langit itu.

***

Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "The Spiritual Discipline of Sky How the Heavens Shape a Heart."

You may also like...

Tinggalkan Balasan