20 Mei 2021
Artikel oleh David Mathis
Editor Executive, desiringGod.org
Anda telah diundang untuk berbicara dengan Allah pemilik seluruh alam semesta; Yang Mahakuasa. Bukan hanya yang paling berkuasa, tapi juga yang Mahakuasa. Semua kuasa adalah milik-Nya dan di bawah kendali-Nya. Dialah yang menciptakan Anda dan menjaga Anda tetap ada.
Allah ini, satu-satunya Allah — Mahakuasa, Pencipta, Penyelamat — berbicara kepada kita untuk menyatakan diri-Nya sehingga kita dapat benar-benar mengenal-Nya. Namun, Dia tidak hanya berbicara. Termasuk dalam salah satu keajaiban besar di seluruh dunia-dan-sejarah, Allah ini mendengarkan. Pertama-tama, Dia berbicara dan kemudian meminta kita untuk merespon. Lalu Dia berhenti. Dia membungkuk. Dia mencondongkan telinga-Nya ke arah umat-Nya. Dia mendengar kita dalam keajaiban yang sering kita anggap remeh; yang begitu sembrono kita sebut sebagai berdoa.
Apa yang Perlu Kita Perhatikan Sebelum Berdoa
Keajaiban doa mungkin membuat kita terburu-buru melewati kenyataan penting sebelum kita mulai ”menelepon” Allah surgawi. Ada urutan untuk Dia berbicara dan mendengarkan terlebih dahulu. Kemudian, barulah giliran kita. Dia adalah Allah. Kita bukan. Perhatikan hal ini dengan baik setiap hari dan untuk selama-lamanya. Dia berbicara terlebih dulu, lalu mendengarkan. Kita mendengarkan terlebih dahulu, barulah kemudian berbicara.
Doa bukanlah percakapan yang dimulai dari kita. Sebaliknya, Allah yang berinisiatif. Pertama, Dia telah berbicara. Dia telah menyatakan diri-Nya kepada kita di dunia-Nya di dalam firman-Nya; dan di dalam Sang Firman [Yesus Kristus]. Melalui firman-Nya, diterangi oleh Roh-Nya, Dia terus berbicara. ”Jagalah supaya kamu jangan menolak Dia, yang berfirman” (Ibr. 12:25). Firman-Nya tidak mati-dan-hilang, tetapi ”hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita” (Ibr. 4:12).
Dalam firman-Nya, dan oleh Firman-Nya, Dia memberikan kepada kita tawaran yang menakjubkan ini: untuk didengarkan oleh-Nya.
Tongkat Emas
Ketika Ester mengetahui rencana Haman untuk memusnahkan orang-orang Yahudi, sebuah penghalang besar berdiri di hadapannya. Mordekhai menyuruhnya ”supaya pergi menghadap raja untuk memohon karunianya dan untuk membela bangsanya di hadapan baginda” (Est. 4:8).
Hal yang lebih mudah untuk diucapkan daripada dilakukan.
Ester tahu kalau ini adalah mengenai taruhan hidup dan mati, bukan hanya bagi orang-orang Yahudi, melainkan juga untuknya. ”Semua pegawai raja serta penduduk daerah-daerah kerajaan mengetahui bahwa bagi setiap laki-laki atau perempuan, yang menghadap raja di pelataran dalam dengan tiada dipanggil, hanya berlaku satu undang-undang, yakni hukuman mati. Hanya orang yang kepadanya raja mengulurkan tongkat emas, yang akan tetap hidup.” Ester tahu ancaman yang berada di hadapannya. ”Dan aku selama tiga puluh hari ini tidak dipanggil menghadap raja” (Est. 4:11). Namun, pada akhirnya, dengan iman dan keberanian, dia memutuskan ”aku akan masuk menghadap raja, sungguhpun berlawanan dengan undang-undang; kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati” (Est. 4:16).
Seseorang tidak bisa seenaknya menghadap seorang raja besar “dengan tiada dipanggil”. Apalagi kalau di hadapan Allah Mahakuasa. Bukan hanya karena berisiko besar, seperti halnya raja duniawi, tetapi bagi Allah itu bahkan tidak mungkin secara fisik. Dia bukan manusia di bumi sehingga seseorang bisa menyelinap melewati penjaga istana dan mendekati-Nya. Dia sama sekali tidak dapat didekati – ”dengan tiada dipanggil”.
Namun di dalam Kristus, takhta surga telah mengambil inisiatif dan juga telah mengulurkan tongkat emas.
Mengapa Kita Bisa Datang Mendekat
Dua akhir yang luar biasa (Ibr. 4:14–16; 10:19–25) dari inti surat kepada orang Ibrani (pasal 5–10) menjelaskan mengapa kita dapat mendekat dan bagaimana caranya.
Surat Ibrani disusun dengan latar belakang perjanjian pertama Allah dengan umat-Nya, melalui Musa. Apa yang Kitab Keluaran, Imamat, dan Bilangan nyatakan tentang ”menghadap” atau ”mendekat” pada Allah adalah mengenai sesuatu yang serius. Pertama, Kemah Suci (dan seluruh sistem ibadah yang diberikan di Gunung Sinai) mengajarkan orang-orang tentang jarak mereka dari Allah; dengan adanya penghalang di antara mereka karena dosa-dosanya mereka. Orang-orang tidak boleh mendekat supaya murka Allah yang adil jangan sampai berkobar terhadap dosa mereka (Kel 19:22, 24).
Pertama, hanya Musa yang diizinkan untuk mendekat (Kel. 24:2) dan kemudian saudara laki-laki Musa (Harun dan putra-putranya) yang melayani sebagai imam yang boleh ”mendekat” (Kel. 28:43; 30:20). Tidak boleh ada orang luar yang mendekat (Bil. 1:51; 3:10); atau imam yang bercacat (Ima. 21:18, 21). Hanya para imam yang ditahbiskan yang boleh ”mendekat kepada mezbah” untuk mengadakan pendamaian bagi diri mereka sendiri dan bagi bangsa itu (Ima. 9:7) — dan hanya dengan cara yang telah diperintahkan Allah; seperti yang diajarkan melalui kengerian yang menimpa Nadab dan Abihu (Ima. 10) dan pemberontakan Korah (Bil. 16; juga 17:13; 18:3–4, 7, 22).
Namun, kini di dalam Kristus, ”kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah,” (Ibr. 4:14). Di dalam Dia, ”kita mempunyai seorang Imam Besar sebagai kepala Rumah Allah,” seorang imam yang menjadi milik kita karena iman sehingga kita ”dapat masuk ke dalam tempat kudus karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri” (Ibr. 10:19-21). Kristus tidak hanya memasuki hadirat Allah atas nama kita, tetapi Ia menyambut kita di belakang-Nya. Dia adalah pelopor bagi kita; yang merintis jalan bagi kita. Kita sekarang dapat ”menghadap” pada Allah; ”mendekat” ke takhta kasih karunia surga karena karya-Nya Kristus bagi kita melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya.
Bagaimana Kita Bisa Mendekat?
Kemudian, untuk membuat kita semakin terkagum-kagum, kita tidak hanya mendekat pada Allah di dalam Kristus, tetapi kita diundang untuk mendekat. Bahkan kita diharapkan untuk melakukannya dengan penuh keberanian — dengan nyali dan keyakinan teguh. Karena kita memiliki imam besar seperti Kristus, ”marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya” (Ibr. 4:16).
Di dalam Dia, ”oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus” (Ibr. 10:19). Bukan berdasarkan nilai, status, atau pencapaian kita sendiri, tetapi sebagai milik-Nya. Kita ”menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh” (Ibr. 10:22). Ini merupakan sebuah iman yang melihat ke luar diri kita dengan tidak bertanya ”Apakah saya layak?” untuk mendekati takhta Allah, tetapi ”Apakah Yesus layak?”
Jangan Tunggu Lagi
Hampir terlalu muluk — hampir — bahwa kita memiliki jalan masuk kepada Allah (Efe. 2:18) dan ”jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan” (Efe. 3:12). Di dalam Kristus, Raja alam semesta mengulurkan tongkat emas. Pertanyaannya bukan lagi mengenai apakah kita bisa datang, melainkan apakah kita akan datang dan seberapa sering?
Kita sudah memiliki jalan masuknya. Allah mengharapkan kita untuk berpegang pada Putra-Nya dengan iman dan mendekati takhta-Nya dengan keberanian. Allah kita mendengarkan. Dia mendengarkan doa-doa kita.
Apa lagi yang Anda tunggu?
***
Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "Our God Listens."