Tuhan, Biarkan Saya Mati: Belas Kasihan Bagi Mereka yang Lelah Akan Kehidupan

13 Maret 2022
Artikel oleh Greg Morse
Staf penulis
, desiringGod.org

Selama bertahun-tahun, saya telah berbicara dengan sejumlah orang Kristen yang mengatakan kepada saya bahwa mereka ingin mati. Mereka berasal dari berbagai usia-dan-etnis yang berbeda; memiliki kepribadian-dan-alasan yang berbeda. Namun, mereka menyimpulkan bahwa pada saat ini kematian lebih baik bagi mereka ketimbang hidup.

Dibutuhkan keberanian untuk mengungkapkan pemikiran tersembunyi tentang kematian. Kebanyakan orang tidak bisa memahaminya. Sebagian besar umat manusia hanya bisa lari dari ketakutan akan kematian yang menerjang mereka dari waktu ke waktu. Hanya sedikit yang merasakan dorongan untuk berhenti, berbalik, dan menyambut kematian sebagai teman.

Mereka ini adalah para pria dan wanita Kristen. Mereka tahu kengerian dari bunuh diri. Mereka tahu kejahatan semacam itu bukanlah sikap romantis antara sepasang kekasih, melainkan dosa keji terhadap Sang Pencipta kehidupan. Ketika perenungan untuk melakukan bunuh diri berusaha memandu mereka menuju jalan keluar lain, bahkan di tengah keadaan yang melemahkan dan kejam, mereka sudah tahu untuk menolak saran Iblis. Dengan iman, mereka melanjutkan hidup mereka selangkah demi selangkah sampai Bapa yang bijaksana membawa mereka pulang. Beberapa orang telah berdoa untuk hal itu.

Jika Anda telah meminta Allah untuk mengakhiri hidupnya Anda, salah satu kebenaran pertama yang harus disadari adalah Anda tidak sendirian.

Allah telah mendengar permohonan semacam itu sebelumnya. Untuk alasan yang berbeda, pada waktu yang berbeda, dari jurang yang berbeda, para pria dan wanita-Nya Allah telah berdoa untuk dibawa pulang. Doa-doa tersebut (yang kita temukan dalam Kitab Suci) tidak hanya muncul dari orang-orang biasa seperti kita, tetapi juga dari orang-orang yang paling tidak kita anggap untuk pernah bergumul dalam hidup ini, yaitu para pemimpin-dan-pahlawan umat Allah.

Tinjaulah beberapa hamba Allah, yang doa-doanya ditangkap oleh Roh Kudus untuk mengingatkan kalau kita tidak sendirian dan (yang lebih penting) untuk menunjukkan bagaimana Allah kita yang baik-dan-murah hati berurusan dengan milik-Nya di titik terendah dalam hidupnya mereka.

Ayub: Ayah yang Putus Asa

Ah, kiranya terkabul permintaanku dan Allah memberi apa yang kuharapkan! Kiranya Allah berkenan meremukkan aku, kiranya Ia melepaskan tangan-Nya dan menghabisi nyawaku! (Ayub 6:8-9)

Saya bertaruh bahwa doa penuh kesedihan yang meminta kematian merupakan doa yang paling umum. Mereka muncul pada musim dinginnya kehidupan, bahkan ketika burung penyanyi merasa terlalu dingin untuk bernyanyi.

Ayub, orang benar yang tiada duanya di bumi (Ayub 1:8), sekarang duduk di atas abu; barah bermunculan di kulitnya; dikelilingi oleh teman-teman yang mendakwanya; dan begitu menderita dengan hati yang terlalu berat untuk dibawa. Serpihan doanya muncul dari reruntuhan kehidupan yang dia miliki sebelumnya. Semua kekayaannya hilang; banyak hambanya yang terbunuh; dan terlebih lagi, kesepuluh anaknya terkubur di bawah rumah yang roboh oleh angin ribut.

Ayub, terhuyung-huyung dengan kesedihan, mengutuk hari kelahirannya: ”Biarlah hilang lenyap hari kelahiranku dan malam yang mengatakan: Seorang anak laki-laki telah ada dalam kandungan” (Ayub 3:3). Dia merenung, ”Mengapa terang diberikan kepada yang bersusah-susah, dan hidup kepada yang pedih hati; yang menantikan maut, yang tak kunjung tiba, yang mengejarnya lebih dari pada menggali harta terpendam; yang bersukaria dan bersorak-sorai dan senang, bila mereka menemukan kubur” (Ayub 3:20–22). Kematian kini terlihat berkilauan bagai harta karun; berembus; dan terasa manis. Ayub melihat tidak ada alasan untuk menunggu lebih lama lagi.

Mungkin Anda, seperti Ayub, mengalami kehilangan yang besar. Mungkin Anda duduk di reruntuhan, dicemooh oleh masa lalu dan kasih yang hilang. Anda tidak tahan lagi. Anda menatap ke depan; ke malam yang tak berakhir. Pengharapan telah berbalik dari Anda. Namun, renungkanlah lagi, Allah tidak seperti itu.

Tuhan menolak permintaannya Ayub. Dia memiliki lebih banyak kasih untuk diberikan; lebih banyak belas kasihan, lebih banyak persekutuan, lebih banyak pertobatan, dan bahkan lebih banyak anak yang menunggu di masa mendatang. Ayub belum bisa membayangkan bagaimana hidupnya akan berubah untuk memuliakan kasih karunia Allah, seperti yang dirangkum Yakobus: ”Kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan” (Yak. 5:11).

Beberapa orang yang mengalami penderitaan mungkin tidak menemukan penghiburan melalui akhir kisahnya Ayub, tetapi kekayaan Ayub yang telah diperbarui tidak akan sebanding bahkan dengan setengah dari yang Anda miliki di dalam Kristus. Teruslah percaya. Teruslah percaya. Malam yang gelap ini sedang mengerjakan bagimu kemuliaan kekal (2 Kor. 4:17). Di sana, bekas luka akan berdampak lebih besar ketimbang kesembuhan.

Musa: Pemimpin yang Letih

Jika Engkau berlaku demikian kepadaku, sebaiknya Engkau membunuh aku saja. (Bil. 11:15)

Ini merupakan doa kedua yang meminta kematian yang kita dengar dari Musa dalam perjalanan panjangnya bersama bangsa Isral. Yang pertama diucapkan dalam syafaatnya bagi mereka setelah pemberontakan anak lembu emas (Kel. 32:32). Di sini, Musa berdoa meminta kematian sebagai pemimpin yang terbebani dan sudah merasa muak.

Bangsa Israel yang telah diselamatkan (dengan luka yang baru pulih dan Mesir yang masih berada dalam jangkauan penglihatan) mengeluh “tentang kemalangan mereka”.

Siapakah yang akan memberi kita makan daging? Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat. (Bil 11:4-6).

Rasa tidak tahu berterima kasih telah menyesatkan pikiran mereka. Ingatan mereka menggambarkan bahwa perbudakan berisi prasmanan hidangan laut. Sementara itu, roti ajaib yang gratis telah menjadi pahit dan hambar. Apakah Musa benar-benar mengharapkan mereka untuk puas dengan koki kedua?

Orang-orang yang tidak tahu berterima kasih itu menatap Musa; dengan memberontak bergumam tentang bagaimana mereka merindukan Mesir. Musa memandang Allah dan berseru,

Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggung jawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku. Jika Engkau berlaku demikian kepadaku, sebaiknya Engkau membunuh aku saja, jika aku mendapat kasih karunia di mata-Mu, supaya aku tidak harus melihat celakaku. (Bil 11:14-15)

Perhatikan lagi jawaban Allah yang penuh kasih. Dia tidak membunuh Musa, tetapi sebaliknya malah menyediakan tujuh puluh penatua untuk membantu Musa dalam pekerjaannya; memberikan orang-orang ini sebagian dari Roh-Nya. Sebagai bonusnya, Allah berjanji untuk memberi makan Israel daging – begitu banyak daging sampai keluar dari dalam hidung mereka dan sampai mereka muak (Bil. 11:20).

Jika Anda merasa lelah di bawah beban yang terlalu berat untuk dipikul oleh lengannya Anda yang lemah, dan terkadang ingin mati saja, lihatlah Allah-nya Musa. Bersandarlah pada-Nya dalam doa. Bapa-Mu yang penuh kasih akan memberikan bantuan untuk meringankan bebanmu dan mengangkat lenganmu untuk memberikan kemenangan.

Yunus: Utusan yang Marah

Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup. (Yun 4:3)

Nabi Yunus yang tak berbelas kasihan membuat banyak orang kebingungan ketika mereka membaca kitab yang memakai namanya. Yunus menunjukkan tekad yang tidak berperasaan bahwa Niniwe, ibu kota musuhnya Israel, yaitu Asyur, tidak boleh menerima belas kasihan dari Allah, tetapi seharusnya menerima kehancuran. 

Dia menolak untuk menjadi alat keselamatannya mereka. Allah telah memperbaharui dia setelah berlayar jauh dari panggilan-Nya. Allah telah menyelamatkannya saat tenggelam di laut. Allah telah memberinya naungan yang menyegarkan saat dia menunggu di luar kota untuk menyaksikan kota itu terbakar. Namun, Yunus tetap tidak mau membuang kebenciannya. Ketika dia menyadari tidak ada malapetaka yang akan turun,

Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia. Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup. (Yun 4:1-3)

Saat ini, hanya sedikit orang di belahan Barat yang menghadapi godaan untuk menginginkan seluruh bangsa dihancurkan. Orang Asyur memang adalah bangsa yang brutal — brutal terhadap bangsanya Yunus. Namun, dalam hati, mungkin kita sering membunuh mereka yang telah menganiaya. Selama mereka hidup, hidup kita membusuk. Terhadap hal ini, Tuhan menjawab (sekali lagi dengan sabar dan penuh kasih) dengan memberi naungan ketika kita kepanasan, bertanya kepada kita sebagai Bapa yang telah lama menderita, ”Layakkah engkau marah?” (Yun. 4:4).

Seringkali, kita tidak berlaku baik. Doa meminta kematian ini bodoh. Pertobatan sangat diperlukan. Pergilah kepada Bapa-mu untuk meminta tolong agar memberikan pengampunan yang mustahil (yang justru Anda terima dengan cuma-cuma dari-Nya) supaya Anda dapat berdoa, “Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat. 6:12).

Elia: Nabi yang Ketakutan

Maka takutlah ia, lalu bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya … Kemudian ia ingin mati, katanya: “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” (1 Raj 19:3-4)

Kita dapat membuktikan dengan sungguh-sungguh bahwa dalam peristiwa ini tampak manusia biasa yang sama seperti kita (Yak 5:17). Perhatikan bahwa momen ini merupakan kelanjutan dari momen terbaik Elia. Nabi-Nya Allah telah memenangkan pertarungan dengan Ahab dan 450 nabi Baal. Allah menurunkan hujan api di hadapan seluruh Israel untuk menunjukkan bahwa seorang nabi sejati berjalan di antara mereka atau yang bahkan berlari di antara mereka. 

Setelah Izebel mendengar bahwa Elia telah membunuh 450 nabi Baal, dia bersumpah untuk membunuhnya juga. ”Maka takutlah ia, lalu bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya” (1 Raj 19:3). Nabi yang diburu tersebut bersembunyi di hutan belantara, duduk di bawah pohon, mencoba untuk tidur, dan berdoa untuk tidak bangun lagi: ”Ya Tuhan, ambillah nyawaku.”

Apakah Anda berdoa meminta kematian karena merasa takut pada mereka yang hidup? Yesus memberitahu kita, ”Aku berkata kepadamu, hai sahabat-sahabat-Ku, janganlah kamu takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh dan kemudian tidak dapat berbuat apa-apa lagi” (Luk. 12:4). Di luar ini, kisah Elia mengundang kita untuk mengamati tahun lalu, minggu lalu, atau hari kemarin yang telah kita lewati untuk berbagai alas an (yang seringkali mencolok) untuk terus mempercayakan diri kita kepada Sang Pencipta yang setia sambil terus berbuat baik tersebut.

Allah, sekali lagi, berbelas kasihan pada Elia. Dia memanggilnya untuk bangun dan makan; menyediakan makanan segar baginya di padang gurun; dan memberikan bekal untuk perjalanan selanjutnya (1 Raj. 19:5-8). Perhatikan juga kebaikan-Nya Allah yang tersenyum pada Elia yang meskipun diancam dengan kematian dan berdoa meminta kematian, tetapi malahan tidak pernah mengalami kematian (2 Raj. 2:11-12).

Paulus: Rasul yang Bersemangat

Aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus–itu memang jauh lebih baik. (Fil 1:23)

Respon utama Allah kepada hamba-hamba-Nya yang berdoa meminta kematian adalah belas kasihan yang ke-bapa-an.

Sekiranya Anda seperti Yunus dan tergoda untuk meremehkan belas kasihan-Nya Allah terhadap orang lain; atau menangis di bawah bebannya Anda seperti Musa; atau kabur untuk menyelamatkan hidupnya Anda seperti Elia; atau merindukan adanya kelepasan seperti Ayub, pandanglah pada Allah yang murah hati tersebut. Allah menganugerahi Ayub dengan dirinya sendiri dan sebuah awal yang baru; Musa dengan tujuh puluh orang untuk membantunya; Yunus dengan pohon untuk menaunginya; Elia dengan makanan dan minuman untuk perjalanannya ke depan.

Bukankah Allah sendiri melalui karya Putra-Nya yang telah tuntas dan karya penciptaan kembali dari Roh-Nya, telah mengubah kematian menjadi pengharapan-yang-penuh bagi kita? Kematian harus membawa kita ke dunia di mana kita diciptakan kembali.

Rasul Paulus, meskipun tidak berdoa meminta kematian, menunjukkan kepada kita perspektif yang ditebus tentang musuh terakhir kita.

Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus–itu memang jauh lebih baik. (Fil 1:21-23)

Kita juga bisa berbalik untuk menghadapi kematian tersebut pada waktu Allah yang tepat; merangkulnya dengan kedamaian yang tidak dikenal dunia. Kita juga memiliki kerinduan yang sehat untuk pergi dari dunia ini dan bersama Kristus. Kita juga memiliki Roh, yang dalam hati mengeluh saat kita menantikan kesempurnaan akan pengharapan kita (Rom. 8:23). Kita juga berdoa, “Maranatha!” dan merindukan malam terakhir dunia ini karena kita merindukan awal baru dari dunia ini.

Kita tidak ingin mati hanya demi kematian itu sendiri, atau hanya untuk melarikan diri dari masalah kita, tetapi kita sangat merindukan kehidupan-tanpa-akhir bersama Kristus yang berada di sisi lain dari tidur panjang kita. Semuanya itu dapat kita rasakan lebih dan lebih lagi, bahkan sekarang, melalui firman dan Roh-Nya.

***

Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "Lord, Let Me Die
: Mercy for Those Tired of Living."

You may also like...

Tinggalkan Balasan