Sebuah versi sederhana dan ringkas dari buku klasik “Belenggu Kehendak” yang ditulis oleh Martin Luther, diterbitkan pertama kali pada tahun 1525.
Versi Inggris
Dikerjakan oleh:
Clifford Pond
Diedit oleh:
J.P. Arthur M.A
H.J. Appleby
Versi Indonesia
Diterjemahkan oleh:
Yonghan
Diedit oleh:
Suriawan Surna
KATA PENGANTAR:
Latar Belakang Buku Ini dan Kontroversi Antara Luther dan Erasmus.
Martin Luther menulis buku berjudul “Belenggu Kehendak” untuk menentang ajaran Desiderius Erasmus yang lahir di Rotterdam antara tahun 1466-1469. Erasmus adalah seorang rahib dari aliran Agustinus selama tujuh tahun dan kemudian merantau ke Inggris. Di sana, dia bertemu dengan seseorang yang mendorongnya untuk mempelajari Bahasa Yunani. Erasmus pun akhirnya menerbitkan catatan kritis terkait Perjanjian Baru Bahasa Yunani (1516). Dia menolak berbagai metode penafsiran Alkitab yang sembrono dan takhayul-takhayul yang dibuat oleh para pengajar di Gereja. Dia mengecam berbagai kemalasan dan penyimpangan yang terjadi di dalam biara.
Namun, Erasmus sendiri bukan orang yang benar-benar tunduk pada kebenaran Alkitab. Dia seorang humanis, yang percaya bahwa manusia bisa meraih keselamatannya sendiri sehingga tidak perlu bergantung sepenuhnya pada Yesus Kristus, yaitu dengan beriman percaya terhadap kematian dan kebangkitan-Nya. Dalam menjelaskan ajaran kekristenan, Erasmus memilih pendekatan yang sederhana ketimbang menjelaskannya dengan gaya seorang teolog yang profesional. Dia menghindari kontroversi dan untuk waktu yang lama, dia tidak pernah membahas mengenai “kehendak-bebas” secara terbuka. Ketika Erasmus mulai membahasnya, itu menjadi tantangan yang tidak bisa diabaikan Martin Luther.
Martin Luther lahir di Saxony, sekitar 14 tahun lebih muda ketimbang Erasmus. Ketika masih menjadi rahib, ia mengalami pengalaman dramatis terkait Injil kasih karunia Allah. Mulai saat itu, ia memahami kalau setiap pengalaman dan ajaran harus diuji terlebih dahulu oleh otoritas Kitab Suci. Dia tahu kalau keselamatan hanya “karena kasih karunia oleh iman, itu bukan hasil usaha, tetapi pemberian Allah – itu bukan hasil pekerjaan: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efe. 2:8-9). Pengalaman hidupnya sendiri menguatkan keyakinan mengenai akan hal ini.
Luther adalah seorang profesor, teolog, dan pendeta. Jemaatnya tahu kalau dia begitu menjiwai apa yang dia khotbahkan. Dia bukan seorang cendekiawan yang dingin. Dia teringat akan kekekalan setiap kali berkhotbah. Ini yang membuatnya kadang-kadang melakukan sesuatu yang tidak populer dan bahkan berbahaya. Dia selalu siap melawan seisi dunia demi mempertahankan kebenaran Allah.
Awalnya, Erasmus terlihat seperti satu kubu dengan Luther. Mereka berdua sama-sama menentang berbagai penyesatan dan penyimpangan di Gereja Katolik. Luther menentang ajaran Katolik Roma terkait keselamatan yang menuntut syarat adanya perbuatan/ritual tertentu dari seseorang supaya ia bisa diselamatkan. Ia bersikeras menyuarakan kalau ”orang benar akan hidup oleh iman” (Rom. 1:17). Erasmus tetap berada di dalam Gereja Katolik. Sebagai cendekiawan, dia meminta Gereja menekan pemimpin negara untuk menerima ajaran soal “kehendak-bebas”. Luther memintanya untuk tidak melakukan hal itu. Erasmus malah kemudian meresponnya dengan menerbitkan buku berjudul “Diskusi Terkait ’Kehendak-Bebas’” pada tahun 1524. Erasmus menulis surat pada Raja Henry VII, ”Dadu telah dilempar. Buku kecil terkait ”kehendak-bebas” ini telah melihat terang”. Buku ini menyenangkan hati Paus dan Kaisar Roma. Raja Henry VIII juga memujinya.
Kemudian, Luther menyatakan Erasmus sebagai musuh bagi orang yang setia pada Alkitab. Allah tampaknya telah mengatur pertentangan kedua tokoh ini bagi kemajuan Kerajaan-Nya. Hasil pertentangan mereka menghasilkan berbagai doktrin alkitabiah yang memperkaya Gereja Milik Kristus sejak saat itu – yaitu isi buku Luther, ”Belenggu Kehendak”.
Kami menawarkan ringkasan dari buku Belenggu Kehendak tersebut. Kami mempertahankan gaya tulisan Luther, namun tidak mengikuti urutannya. Kami memulai dengan meringkas doktrin positif Luther terkait belenggu kehendak, kemudian melanjutkannya dengan argumen apa yang Luther gunakan, dan apa yang ia tolak dari argumen Erasmus.
Gaya tulisan Luther membuat kami harus menambahkan sejumlah kata setiap kali dia menggunakan kata ”kehendak-bebas”. Misalnya saja: ”kehendak-bebas yang kamu anggap ada”. Kami juga memilih untuk memberikan tanda kutip untuk istilah yang Luther tolak yaitu – “kehendak-bebas”. Di bab kedua, ketiga, dan keempat, kami mempertahankan gaya tulisan Luther yang lugas -mencoba mempertahankannya semirip mungkin dengan tulisan aslinya.
Kami tidak menyertakan setiap argumen yang digunakan Luther. Jika kami melakukannya, maka usaha menyederhanakan tulisannya ini menjadi sia-sia.