Tentang Mendua Hati

Yak. 1:8 (AYT)
Orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam semua jalan hidupnya.

Sama seperti bangsa Israel yang keluar dari Mesir, Allah akan membawa kita ke Mara untuk diuji (Kel. 15:25). Dengan sengaja, Tuhan memang tidak langsung membawa kita ke Elim, di mana ada dua belas mata air dan tujuh puluh pohon kurma. Ketika kita kehausan di Mara, akankah kita bersungut-sungut atau tetap percaya pada pemeliharaan-Nya? 

Ketika kita divonis kanker stadium akhir; bangkrut; anak meninggal; istri lari dengan pria lain, masihkah kita akan beriman kalau Allah itu “baik dan berbuat baik” (Mzm. 119:68)? Jika ya, Saudara bukan orang yang bimbang; bukan seperti gelombang laut, ditiup angin ke sana kemari.

Ketika segala sesuatu tampak gelap, tidak jelas, dan penuh dengan ketidakpastian, masihkah Saudara berani berseru: “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu”? (Mzm. 119:71). Jika ya, maka Saudara bukan “orang yang mendua hati”, tetapi sungguh-sungguh orang beriman.

Ketika kita dibawa ke dalam pencobaan, Tuhan ingin kita percaya pada-Nya. Apakah kita sungguh-sungguh percaya kalau “pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia”? Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. 

Percayakah Saudara “pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya? (1 Kor. 10:13). Jika ya, maka Saudara meminta hikmat untuk merespon semua ujian ini dengan memintanya dengan “iman dan tidak bimbang”. 

Jika kita bisa merespon seperti Habakuk, maka kita lulus uji sebagai orang yang tidak kekurangan hikmat (Hab. 3:17-19). Jika kita bisa merespon seperti Abraham, maka kita lulus uji sebagai orang yang sungguh benar sudah dianugerahi iman yang menyelamatkan (Ibr. 11:8-12, 17-19). 

Dalam suka dan duka, Allah Tritunggal terbukti benar sebagai Allah yang kasih-Nya hebat atas kita. Kita sungguh percaya kalau kesetiaan Tuhan untuk selama-lamanya (Mzm. 117). 

Maka, jika ini yang terjadi setelah diuji, kita bisa menganggap “sebagai suatu sukacita jika kamu jatuh ke dalam berbagai pencobaan”. Kita teruji bukan “orang yang mendua hati”. Karena orang yang mendua hati tidak punya Tuhan sebagai batu karang perlindungan, wajarlah kalau mereka “tidak akan tenang dalam semua jalan hidupnya”.

You may also like...

Tinggalkan Balasan