Seperti Apa Himne yang Baik?

9 September 202
Artikel oleh David dan Barbara Leeman

Seperti apa himne (nyanyian-pujian) yang baik?

Erik Routley, seorang ahli himneologi terkenal asal Inggris pada tahun 1950-an, secara rutin mengatakan bahwa sebuah himne yang baik harus “ditulis dengan baik; dipilih dengan baik; dan dinyanyikan dengan baik”. Selama lebih dari lima puluh tahun, kata-kata ini telah menjadi petunjuk-penyaring bagi saya. Berbagai petunjuk-penyaring ini telah membimbing saya dalam memilih himne untuk kebaktian, pernikahan, pemakaman, kelompok kecil, dan retret.

Namun, apa sebenarnya arti dari ketiga ciri ini? Mari kita jelajahi lebih jauh. 

DITULIS DENGAN BAIK 

Yang saya maksud dengan “ditulis dengan baik” adalah teologi dalam sebuah himne haruslah baik; dan musiknya haruslah dirancang dengan baik. Routley tidak akan menyetujui nyanyian-pujian apa pun kecuali lagu itu lulus dua ujian—ujian tata bahasa dan ujian jemaat. Pertama, tata bahasanya harus benar. Ia menulis, “Sebagai sebuah karya seni dalam bidang sastra, karya tersebut haruslah tanpa cacat. Itu tidak boleh melanggar aturan tata bahasa… Gagasan di balik himne itu tidak boleh sedemikian rupa sehingga jika himne tersebut adalah sebuah kursi atau meja, maka himne itu akan roboh begitu ada beban yang ditimpakan padanya.” Kedua, himne itu harus sesuai untuk nyanyian bagi jemaat. Routley menulis, “Ketika ditulis, himne tersebut harus melakukan hal yang dirancang untuk dilakukannya secara tepat dan lengkap. Sebuah himne dirancang untuk menjadi tindakan pujian-penyembahan dari jemaat.” 

Beberapa himne merupakan mahakarya dari sisi komposisinya, namun sulit untuk dinyanyikan jemaat. Nyanyian pujian yang satunya lagi hanya berfungsi sebagai ekspresi pengabdian pribadi, tetapi tidak berisi tema-tema yang lain. Dalam kedua kasus tersebut, berdasarkan pengujian Routley, kedua jenis himne ini dianggap gagal. 

Ketika kita membahas himne yang “ditulis dengan baik”, maka kita tidak hanya mengacu pada liriknya, tetapi juga melodinya. Melodi yang bagus cenderung memiliki daya tahan. Melodi-yang-bagus bertahan lintas generasi. Misalnya, “O Sacred Head, Now Wounded” (Betapa Kau Mend’rita, NP 185) yang digubah oleh Hans Leo Hassler dengan kata-kata dari Bernard dari Clairvaux, adalah salah satu mahakarya musik terhebat di dunia berkat melodinya yang tajam. Nada sebuah himne tidak dapat diabaikan. 

Nyanyian pujian yang ditulis dengan baik akan memiliki perpaduan yang sehat antara musik dan liriknya. Contoh yang kuat dari perpaduan ini adalah himne “When I Survey the Wondrous Cross” (Bila Kuingat SalibNya, NP 189) karyanya Isaac Watts. Kata-kata dalam lagu tersebut diperkuat melalui nadanya. Melodinya, seperti bersenandung, bergerak naik turun selangkah demi selangkah, sedangkan jangkauannya hanya memiliki lima nada. Kedalaman dan kecepatannya dipadukan dengan lirik untuk mengomunikasikan mengenai meditasi pribadinya si pengamat salib. 

Seiring berjalannya waktu, himne-himne terbaik dari zaman mana pun cenderung akan terungkap. Penulis himne terkenal Charles Wesley menyusun lebih dari 6500 himne, tetapi hanya 253 himne yang masih beredar. Sejumlah himne kontemporer kita pada saat ini mungkin bertahan hingga beberapa generasi mendatang. Apa pun kasusnya, gereja sebaiknya menerapkan kebijaksanaan dengan memilih lagu-lagu pujian terbaik yang tersedia bagi mereka, bahkan lagu-lagu kuno sekalipun! Stuart Townend, penulis “How Deep the Father’s Love for Us” dan “In Christ Alone” ditanya apakah himne-himnenya akan bertahan dalam ujian waktu. Dia dengan rendah hati menjawab, “Hanya waktu yang akan menjawabnya!”

DIPILIH DENGAN BAIK

Memilih himne mungkin merupakan tugas yang paling menantang bagi pemimpin pujian mana pun. Prosesnya memerlukan waktu dan pengetahuan luas tentang himne atau akses ke indeks berdasarkan topik. Karena menyanyi adalah bagian penting dari apa yang dilakukan orang Kristen ketika mereka berkumpul, maka pemimpin pujian harus berhati-hati dalam memilihnya (Efe. 5:19). Sayangnya, pemilihan yang buruk dapat mengakibatkan nyanyian terganggu atau bahkan tidak ada gunanya. Rasa tidak pas yang disebabkan oleh musik yang salah tempat bisa merampas fokusnya jemaat.  Itu sebabnya mengapa himne harus sesuai secara tematis dan nada dengan elemen lain dari sebuah kebaktian. Sama seperti lirik yang harus melengkapi melodi, maka pilihan lagu juga harus melengkapi keseluruhan kebaktian. Himne tertentu mungkin mengantisipasi apa yang akan terjadi dalam kebaktian; atau mungkin mencerminkan apa yang baru saja terjadi. Kadang-kadang, jemaat terhibur dengan kata pengantar singkat yang menjelaskan mengapa sebuah himne tertentu dipilih dan bagaimana jemaat dapat merefleksikan maknanya. 

Kebaktian khusus seperti pernikahan dan pemakaman; masa dalam setahun; atau bahkan usia rata-ratanya jemaat akan mempengaruhi himne apa saja yang dinyanyikan dan di mana nyanyian itu ditempatkan. Misalnya saja, ketika kami membuat lagu pujian untuk sebuah sekolah dasar Kristen, kami sudah memikirkan target pesertanya: anak-anak! Kami menyimpulkan bahwa himne seperti “Come, Children, Join to Sing” (Hai Kristen, Pujilah, NP 37); “O Little Town of Bethlehem” (Hai Betlehem Efrata, NP 43); “Once in Royal David’s City” (Di Neg’ri Raja Daud, NP 56); dan “We Three Kings of Orient Are” (Kami Tiga Orang Majus, NP 54) sangat cocok untuk para siswa sekolah dasar. Ketika memilih himne, maka memikirkan mengenai siapa jemaatnya adalah hal yang terbaik. 

DINYANYIKAN DENGAN BAIK

Ada banyak alasan mengapa jemaat tidak menyanyikan sebuah himne dengan baik. Mungkin mereka tidak terbiasa dengan hal tersebut atau mungkin karena pemimpin ibadah membuat kesalahan yang mengganggu. Mungkin pengiring dan jemaatnya yang tidak selaras. Jika jemaat ingin bernyanyi dengan baik, maka seorang pemimpin pujian memerlukan umpan balik dan evaluasi secara berkala. Selama evaluasi ini, mereka dapat menanyakan sejumlah pertanyaan berikut:

  • Bagaimana jemaat menyanyikan setiap himne?
  • Jika mereka tidak bernyanyi dengan baik, mengapa tidak? 
  • Apakah himne tersebut memerlukan pengenalan yang lebih substansial? 
  • Apakah menurut kita sebuah pengulangan akan membantu? 
  • Apakah himne itu tidak pada tempatnya?

Meskipun terkadang menyakitkan, pertanyaan-pertanyaan ini membantu para pemimpin memahami himne yang dinyanyikan dengan buruk. 

Artikel ini berupaya membentuk cara pemimpin lagu mengevaluasi himne. Karena nyanyian jemaat adalah salah satu hak istimewa mingguan kita sebagai orang Kristen, maka kita harus melakukannya dengan sangat hati-hati. Jika Tuhan berkehendak, maka nyanyian kita akan menjadi bagian dari ibadah syukur yang kita bawa kepada Allah (Ibr. 12:29).

Dave dan Barbara adalah pensiunan musisi gereja dan sekolah Kristen yang tinggal di Greenville, SC. Mereka memiliki dua buku himne yang diterbitkan oleh Moody Publishers: Hosanna in Excelsis dan yang baru saja dirilis: Our Hymns, Our Heritage.


Artikel ini diterjemahkan dari “What Makes a Good Hymn?

You may also like...

Tinggalkan Balasan