9 Januari 2021 Artikel oleh Jon Bloom Staf penulis , desiringGod.org
”Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Mar. 9:24). Permohonan pada Yesus ini – doa ini – yang datang dari seorang ayah yang sedang putus asa, yang sedang bersyafaat bagi anaknya yang sedang menderita, bisa dipahami melalui beberapa kata yang sederhana. Itu merupakan sebuah pengalaman yang mendalam, sulit, membingungkan, dan lazim terjadi. Semua pengikut Yesus memiliki rasa percaya dan tidak percaya sekaligus, iman dan keraguan sekaligus, yang muncul dalam diri kita secara bersamaan.
Kita melihat paradoks ini dalam banyak bagian di dalam Alkitab. Kita melihatnya muncul pada diri Petrus yang sudah berjalan di atas air, namun kemudian mulai tenggelam karena rasa tidak percayanya (Mat. 14:28-31). Kita melihatnya muncul pada diri Tomas yang menyatakan ”sekali-kali aku tidak akan percaya” sebelum ia melihat langsung bukti fisik kebangkitan Yesus. Namun, ia cukup percaya untuk tetap tinggal bersama para murid lainnya hingga Yesus menampakkan diri padanya (Yoh. 20:25-26). Kita melihatnya muncul pada Kitab Mazmur, seperti Mazmur pasal 73, ketika para orang kudus bergumul dengan rasa tidak percayanya. Kita juga sering melihatnya muncul pada diri kita sendiri sehingga kita sering melihat bayang-bayang diri sendiri kita melalui doanya si ayah yang sedang putus asa tersebut. Ketidakpercayaan adalah ”pencobaan-pencobaan biasa” bagi orang-percaya (1 Kor. 10:13).
Meskipun itu merupakan pencobaan yang biasa (dan sering terselubung), ketidakpercayaan adalah pencobaan yang berbahaya secara rohani karena bisa membawa seseorang ”murtad dari Allah yang hidup” (Ibr. 3:12). Ini adalah musuh yang harus dilawan dengan sungguh-sungguh.
Kita semua masing-masing bertempur di medan pertempuran yang unik dalam melawan musuh ini karena kita semua memiliki pengalaman yang unik dan temperamen yang unik sehingga kita rapuh terhadap bentuk rasa-tidak-percaya tertentu. Mendapatkan bantuan untuk melihat titik kerapuhan kita hingga bisa menjadi tidak percaya adalah sesuatu yang sangat penting dalam membantu usaha kita memenangkan pertempuran. Jika kita meminta tolong pada-Nya, ini merupakan sesuatu yang dengan senang hati dilakukan Yesus bagi kita.
Si Ayah yang Putus Asa Dan Rapuh
Si ayah dari anak yang sedang menderita dalam Injil Markus 9:14-29 tentunya memiliki kerapuhan yang unik sehingga ia sampai tidak percaya. Tidak sulit bagi kita untuk memahami mengapa. Bayangkan apa-apa saja yang telah dialaminya hingga ia bertemu dengan Yesus. Dia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun mencoba melakukan segala sesuatu yang ia sanggup untuk menolong putranya (Mar. 9:21). Kesakitan yang begitu parah tersebut disebabkan oleh roh jahat yang menyiksa si anak sejak masa kecilnya sehingga melukai sekujur tubuhnya dan membisukannya (Mar. 9:17-18). Si ayah, yang kemungkinan besar melakukannya bersama-sama si ibu, telah berkali-kali menyelamatkan anaknya yang berharga tersebut – anak satu-satunya (Luk. 9:38) – dari berbagai bahaya kematian dengan menyelamatkannya dari ancaman api-dan-air (Mar. 9:22). Berarti, hidup sehari-harinya mereka dijalani dengan perasaan was-was kalau bisa saja mereka tidak sempat menyelamatkan si anak pada kejadian yang berikutnya. Mereka juga telah hidup dengan perasaan was-was akan masa depan mengenai bagaimana jadinya nasib si anak kelak ketika salah satu dari mereka sudah meninggal. Siapa yang akan menyelamatkan si anak?
Mereka juga sangat mungkin hidup dengan keletihan yang mendalam karena harus terus menerus bersiaga siang dan malam. Mereka mungkin harus bertahan dari sejenis ketegangan hubungan pernikahan yang terus menerus terjadi karena berada di dalam situasi yang stres dan menyakitkan.
Mereka juga harus bergumul dengan masalah keuangan karena penderitaan anaknya akan berdampak pada mereka dengan berbagai cara. Secara langsung, mereka mungkin harus mencari biaya untuk mengobatinya. Secara tidak langsung, mereka mungkin jadinya tidak bisa maksimal dalam mencari nafkah. Yang terutama, mereka harus hidup menanggung malu, atau bahkan si anak itu sendiri, karena merasa entah bagaimana mereka berdosa sehingga membawa kutuk ini pada si anak – rasa malu yang semakin menumpuk karena tahu bahwa orang lain juga memikirkan hal yang sama (seperti yang dinyatakan dalam Yoh. 9:1–2).
Pertempuran yang Unik Dalam Sebuah Perang yang Biasa
Yang pasti, si ayah yang sedang bergumul hebat ini sering berdoa untuk anaknya yang sangat berarti tersebut, namun tak terlihat hasilnya. Yang pasti, dia sudah mencari para pemimpin rohani atau pengusir setan untuk mengusir roh jahat tersebut, namun tidak ada yang berhasil.
Mendengar kisah Yesus yang berkuasa menyembuhkan penyakit dan mengusir setan menggerakkannya sedemikian rupa hingga ia dengan sebuah pengharapan membawa si anak untuk menemui Yesus. Tidak bertemu dengan rabi yang terkenal tersebut, ia meminta tolong pada murid-Nya Yesus. Namun, para murid ternyata juga sama tidak sanggup menolongnya seperti halnya orang lain sebelumnya (Mar. 9:18). Kita bisa mengerti mengapa pengharapannya, termasuk imannya, tampak sudah merosot jatuh ketika Yesus muncul.
Alasan saya menyatakan semuanya ini adalah untuk menunjukkan betapa miripnya si ayah dengan kita semua. Rasa tidak percayanya berakar dalam pengalamannya yang unik. Begitu juga dengan kita. Rasa takut dan kekecewaannya memengaruhi ekspektasinya. Begitu juga dengan kita. Dia rapuh, dalam tempat yang sangat pribadi, sehingga kalah dalam peperangan imannya. Begitu juga dengan kita. Kita bisa bersimpati pada orang ini ketika dia memohon pada Yesus: ”…jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami” (Mar. 9:22). Kita mungkin akan memanjatkan doa yang sama atau memikirkan hal yang serupa.
Kita mungkin mengira Yesus akan merespon dengan lemah lembut pada si ayah yang sedang putus asa ini seperti halnya ketika Ia merespon orang kusta yang memohon pada-Nya untuk disembuhkan. Terhadap si orang kusta, Yesus tergerak hatinya oleh belas kasihan, lalu mengulurkan tangan-Nya dan menjamah orang itu dan berkata: ”Aku mau, jadilah engkau tahir” (Mar. 1:40–42). Namun, bukan seperti itu respon-Nya Yesus terhadap si ayah yang sedang putus asa ini.
Teguran yang Mengejutkan dan Berbelas Kasih
Respon Yesus terhadap si ayah tidak disangka-sangka: ”…. Katamu: jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!” (Mar. 9:23). Ini mengejutkan kita. Kebanyakan dari kita lebih melihat bayang-bayang diri kita sendiri pada sosok si ayah ketimbang orang kusta tersebut. Kita mengira Yesus akan menghibur si ayah. Namun, Yesus malah menegurnya. Ini membuat kita bertanya-tanya, ”Inikah yang sebenarnya dirasakan Yesus terhadap ketidakpercayaannya kita?
Satu cara untuk menjawab pertanyaan tersebut: ”Melalui keempat Injil, Yesus secara konsisten menguatkan mereka yang menunjukkan iman dan menegur mereka yang menunjukkan keraguan dan ketidakpercayaan. Orang kusta yang disembuhkan-Nya menjadi contoh yang baik. Orang tersebut berkata kepada Yesus: ”Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku” (Mar. 1:40). Ini merupakan deklarasi iman hingga menggerakkan belas kasihan-Nya Yesus untuk menyembuhkannya.
Namun, si ayah dari anak yang sedang menderita ini berkata pada Yesus, ”… jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami” (Mar. 9:22). Ada iman dalam permintaan ini. Iman adalah penyebab mengapa ia sampai datang mencari Yesus. Namun, di dalamnya juga terkandung rasa tidak percaya. Sebagian dari dirinya tidak menganggap kalau Yesus bisa lebih berhasil dibandingkan orang lain yang telah ditemuinya. Jadi, si ayah ditegur Yesus, seperti halnya Petrus ditegur di dalam air dan Tomas ditegur ketika ia akhirnya melihat langsung Yesus yang telah bangkit (Mat. 14:31; Yoh. 20:27–29).
Inilah yang harus kita ingat baik-baik: ”Teguran Yesus pada orang percaya yang telah mengijinkan ketidakpercayaannya untuk menginfeksi-dan-melemahkan imannya sehingga menguasai tingkah lakunya merupakan bentuk belas kasihan yang agung.”
Belas Kasihan Dari Disiplin-Nya
Iman merupakan saluran yang dipakai Allah untuk menyalurkan kasih karunia akan keselamatan, pengudusan, dan berbagai karunia rohani. Rasa tidak percaya akan menghalangi saluran tersebut sehingga akan mengganggu aliran kasih karunia-Nya Allah (Yak. 1:5-8). Jadi, ketika Yesus menegur ketidakpercayaannya si ayah tersebut, itu merupakan bentuk didikan dari Tuhan yang penuh dengan belas kasihan; menyakitkan; dan dalam waktu yang singkat demi menunjukkan adanya penyakit tidak percaya dalam diri orang percaya sehingga ia bisa melihat dan bertempur melawannya. Jika tidak bertempur melawannya, dia tidak akan beroleh bagian dalam kekudusan-Nya dan menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai (Ibr. 12:10–11).
Dalam pengertian seperti itu, Yesus adalah tabib yang baik. Seperti halnya dokter-yang-baik tidak membiarkan adanya sel kanker bercokol dalam diri seorang pasien, Yesus tidak akan membiarkan rasa ragu dan tidak percaya untuk tetap ada. Jika dibiarkan tetap tidak terlihat dan segera dirawat, hal tersebut akan membunuhnya. Jadi, apa yang dilakukan Yesus adalah membantu si ayah yang sedang putus asa ini untuk melihat dengan jelas akan dosa tidak percayanya seperti yang dilakukan Yesus terhadap Petrus dan Tomas.
Hasilnya memang terlihat baik adanya. Kita melihat ini dalam seruan putus asa dari si ayah kepada Yesus: ”Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” Seperti halnya ketika Yesus menarik Petrus keluar dari air dan menunjukkan telapak tangan dan tubuh-Nya pada Tomas, Dia menghargai imannya si ayah tersebut meskipun iman itu sudah begitu bobrok. Yesus segera membebaskan si anak tersebut (Mar. 9:25-27).
Yesus Akan Menolong Anda untuk Melihat Rasa Tidak Percayanya Anda
Kita semua yang percaya pada Yesus juga memiliki rasa tidak percaya pada Yesus. Ini tidak mengejutkan karena kita semua hidup dengan tipu daya dosa yang bersarang dalam diri kita (Ibr. 3:13). Kita semua hidup dalam dunia yang sudah tercemar kuasa dosa yang memperdaya. Jadi, kita harus terus menerus bertanding dalam pertandingan iman (1 Tim. 6:12) dengan berperang mematikan ketidakpercayaannya kita.
Namun, kehadiran rasa tidak percaya dalam diri kita biasanya terselubung. Kita tidak selalu bisa melihatnya dengan jelas. Dosa ini berakar dalam berbagai pengalaman kita yang unik dan dalam temperamen kita yang unik sehingga membuat kita secara unik menjadi rapuh terhadap tipu dayanya. Keraguan kita bisa terlihat sebagai sesuatu yang bisa dipahami, bahkan dibenarkan. Namun, seperti halnya semua dosa dan akibat yang timbul dari kejatuhan manusia ke dalam dosa, rasa tidak percaya adalah sesuatu yang berbahaya secara rohani. Apa yang kita sungguh-sungguh butuhkan, meskipun kita memilih untuk menghindarinya, adalah Yesus yang dengan penuh belas kasihan menolong kita untuk melihat rasa tidak percayanya kita sekalipun hal itu berarti membutuhkan disiplin/didikan yang menyakitkan dan berlangsung dalam waktu singkat.
Setelah mengikuti Yesus selama puluhan tahun, saya sudah mengalami didikan dari-Nya beberapa kali, termasuk yang baru-baru ini terjadi. Saya sudah belajar untuk meminta-Nya mendisiplinkan ketika saya melihat adanya gejala rasa tidak percaya (dalam bentuk hadirnya rasa ragu, skeptisme, mengasihani diri sendiri, dan penguasaan diri yang rendah yang melekat dan terselubung). Saya meminta Yesus mendisiplinkan bukan karena saya menikmati proses yang menyakitkan dan merendahkan hatinya saya tersebut ketika Ia sedang menyoroti rasa tidak percayanya saya. Namun, saya ingin menikmati sukacita bisa sepenuhnya percaya kalau Allah itu memang ada dan memberi upah bagi mereka yang mencari-Nya (Ibr. 11:6). Saya ingin saluran kasih karunia-Nya terhadap saya tidak menjadi terhambat. Jadi, saya pun memanjatkan doa yang sama dengan pemazmur: ”…. ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal” (Mzm. 139:23-24).
Saya sudah menemukan jawaban dari Yesus.
Yesus juga akan memberi jawab pada Anda. Dia akan menjawab doa: ”Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” Yesus akan menolong Anda dalam berperang mematikan ketidakpercayaannya Anda dengan menunjukkannya (di tempat Anda ingin menyembunyikannya). Jangan takut terhadap disiplin dari-Nya. Takutlah terhadap rasa tidak percaya. Rasa tidak percaya akan menghalangi saluran iman. Dosa itu akan merampas sukacitanya Anda. Jika tidak segera ditangani, dosa itu akan menghancurkan Anda. Bagaimanapun, rasa sakit karena disiplin yang berlangsung singkat adalah langkah untuk mendapatkan sukacita yang lebih besar karena akan memperlancar saluran kasih karunia-Nya Allah – supaya kita bisa lebih mengenal-Nya.
***
Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul 'All Who Believe Battle Unbelief.'
 
																								