15 Desember 2022
Artikel oleh Rhys Plant
Saya berumur 20 tahun ketika menjadi seorang ayah. Saya masih muda, bodoh, dan sayangnya belum siap. Ketika saya dan istri membawa bayi laki-laki kami pulang ke rumah, kami duduk dan saling memandang. Gelombang emosi campur aduk melanda kami: kegembiraan, kebingungan, dan rasa panik. Kami sangat gembira atas anugerah Tuhan berupa bayi laki-laki yang sehat. Kami sedikit terkejut bahwa [rumah sakit] akan memulangkan dua orang yang berusia dua puluh tahun dengan seorang bayi dan tanpa [membekali mereka dengan] buku petunjuk. Kami merasa panik karena mulai sadar bahwa kami sekarang bertanggung jawab atas seorang bayi kecil; seorang pembawa gambar [dan rupa-Nya Allah] yang masih kecil. Ketika saya berbicara dengan para orang tua selama ini, sebagian besar dari mereka mengaku memiliki pengalaman yang serupa.
Saya pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa para orang tua telah diberi tugas untuk “menggembalakan anak-anak mereka menuju kekekalan.” Saya tidak ingat siapa yang mengatakannya, tetapi saya tidak pernah lupa kata-kata tersebut. Lantas, bagaimana gereja mempersiapkan para orang tua untuk merawat jiwa anak-anaknya?
Izinkan saya menyarankan empat gagasan.
1. Bersukacitalah dalam kehidupan yang baru dan keluarga yang bertumbuh.
Pemazmur menulis, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu…” (Maz. 127:3–5, TB). Sayangnya, pada masa ini, hanya sedikit orang yang memahami nilai dari anak-anak. Pasangan suami-istri yang memiliki lebih sedikit anak sering kali dikarenakan mereka memandang anak sebagai sebuah ketidaknyamanan, bukan sebagai sebuah anugerah. Hal ini seharusnya tidak terjadi dalam gereja kita. Kita hendaknya bersukacita atas anugerah berupa anak-anak. Jika para orang tua merasa tidak diterima di gereja karena jumlah keluarga atau perilaku anak-anak mereka, maka gereja akan kesulitan membekali para orang tua dengan berbagai alat yang diperlukan untuk membesarkan anak-anak mereka. Tuhan kita bersabda, “Biarlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku…” (Mat. 19:14) sehingga hal ini juga harus menjadi ciri dari sikapnya gereja kita terhadap anak-anak.
2. Ajarilah para orang tua untuk apa mereka dipanggil.
Dalam Kitab Ulangan 6, Tuhan memanggil para orang tua untuk meneruskan perintah dalam Hukum Taurat kepada anak-anak mereka: “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ula. 6:7). Demikian pula, dalam Surat Efesus 6:4, Paulus menasihati para ayah agar tidak membangkitkan “amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Alkitab sudah jelas. Para orang tua harus mendidik anak-anaknya di dalam Tuhan.
Jadi, bagaimana gereja dapat membantu para orang tua memahami tanggung jawab ini? Ya, hal itu [harus] dimulai dari mimbar. Para gembala, ketika Anda memberitakan Firman, ambillah kesempatan untuk menerapkan teks tersebut langsung pada para orang tua. Sarankan mengenai berbagai pertanyaan yang dapat mereka diskusikan di meja makan bersama anak-anak mereka. Semangatilah mereka ketika mereka menginjili anak-anak mereka. Selain melalui pelayanan mimbarnya Anda, pastikanlah program gerejanya Anda terstruktur sehingga para keluarga dapat terlibat dalam ibadah secara bersama-sama.
Banyak gereja yang secara tidak sengaja menghalangi keterlibatannya para orang tua dengan menjalankan program yang berlebihan. Sebuah keluarga mungkin datang ke gereja pada hari Minggu; masuk ke dalam gedung gereja; dan tidak bertemu lagi sampai mereka pulang. Mereka tidak bersama-sama bernyanyi. Mereka tidak bersama-sama berdoa. Mereka tidak bersama-sama mendengar Firman Allah dibacakan. Mereka tidak bersama-sama mengamati tata cara beribadah. Mereka tidak bersama-sama mendengarkan khotbah. Sebagai gembala, kita harus menghindari hal ini sebisa mungkin.
Anak-anak mendapat manfaat dari bernyanyi dan berdoa bersama-sama dengan orang tuanya. Mereka mendapat manfaat dari melihat upacara pembaptisan dan Perjamuan Tuhan. Pada akhirnya, mereka perlu mendengarkan khotbah yang sama dengan orang tua mereka—dan mungkin lebih cepat dari yang Anda perkirakan.
Kita harus melakukan semua yang kita bisa untuk membantu para orang tua merawat jiwa anak-anak mereka. Hal ini berarti mendorong mereka untuk beribadah bersama-sama dan memberikan kesempatan bagi para orang tua untuk terlibat.
3. Ajarilah para orang tua bagaimana mengerjakan apa yang harus diakukan berdasarkan panggilan mereka tersebut.
Setelah mengajari mereka mengenai apa yang harus dilakukan, gereja harus membekali para orang tua tentang bagaimana melakukannya dengan baik. Berdasarkan sejarah, katekismus telah digunakan untuk mengajar anak-anak mengenai berbagai hal-hal tentang Allah. Mungkin gereja Anda dapat menyarankan katekismus yang berbeda untuk digunakan di rumah. Mungkin Anda dapat memberikan garis besar untuk digunakan para orang tua dalam ibadah keluarga sehingga mereka tidak merasa terbebani karena harus merancang tata cara ibadahnya sendiri.
Jika gerejanya Anda memiliki toko buku, jangan lupa untuk mengisi rak tersebut dengan berbagai buku untuk para orang tua dan anak-anak. Selama Sekolah Minggu bagi anak-anak, atau bahkan di taman kanak-kanak, ajarilah lagu-lagu yang bisa dinyanyikan dengan mudah di rumah pada anak-anak di gerejanya Anda.
4. Mendukung para orang tua dalam panggilan mereka.
Kebanyakan orang tua tahu bahwa terkadang anak-anak kita lebih mendengarkan orang lain daripada mendengarkan kita. Inilah sebabnya mengapa budaya pemuridan sangat penting bagi gereja yang sehat. Adalah wajar jika para remaja dimuridkan oleh orang lain selain oleh orang tuanya.
Cara langsung untuk membina hubungan semacam ini adalah dengan mendorong anggota yang masih lajang di gerejanya Anda untuk melekatkan diri mereka pada satu atau dua keluarga. Ketika hal ini terjadi, sebuah keluarga akan mendapatkan lebih banyak bantuan, dan para jemaat yang masih lajang tersebut akan mendapat manfaat dari melihat para orang tua menyayangi anak-anak mereka dengan baik—belum lagi semua pelukan, tos, dan berbagai prakarya yang dipersonalisasi!
Pada akhirnya, dukungan terbaik yang bisa kita berikan adalah melalui doa. Para orang tua tidak bisa menjamin keselamatan anaknya. Mereka hanya bisa menunjuk ke arah kayu salib dan berdoa. Sesama jemaat dapat ikut bersama para orang tua dalam menunjuk dan mendoakan. Jadi, doakanlah anak-anak di gerejanya Anda. Berdoalah untuk anak-anak di pertemuan para staf dan penatua gerejanya Anda. Doakanlah mereka pada saat-teduhmu. Para gembala, Anda harus membantu para orang tua di gerejanya Anda untuk bertumbuh dalam kepedulian mereka terhadap jiwa anak-anak mereka. Janganlah hanya bergantung pada berbagai program gereja semata. Sebaliknya, perlengkapilah para orang kudus untuk melakukan pelayanan dengan membantu para orang tua dalam memuridkan anak-anak mereka menuju kedewasaan [rohani].
Rhys Plant adalah seorang gembala di Jacqueline Street Alliance Church di London, Ontario.
Artikel ini diterjemahkan dari “Why Parents Are the Primary Spiritual Caregivers of Their Children.”