26 Maret 2020 Artikel oleh Greg Morse Staf penulis, desiringGod.org
Beberapa realitas bisa menjadi begitu familier sehingga kita tidak lagi memperhatikannya. Lukisan yang menempel kuat di dinding ruang tamu pada akhirnya menghilang. Apa yang terasa familier tidak selalu diperhatikan dengan baik.
Begitu juga dengan mahakaryanya Daud dalam Mazmur 23. Berbagai lirik yang kita sukai itu tergantung di ruang tamunya gereja. Namun, kita bisa saja gagal untuk melihatnya setelah lewat beberapa waktu. Kita melihatnya tertera pada begitu banyak cangkir kopi dengan latar belakang yang indah sehingga pada akhirnya kita hanya melihat sesuatu yang klise alih-alih penghiburan yang diilhami Allah. Tanpa latar belakang lain — yang seringkali tidak digambarkan dengan tenang — kedamaian yang dijanjikan mazmur terkasih ini tetap tak terlihat.
TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.
Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau,
Ia membimbing aku ke air yang tenang;
Ia menyegarkan jiwaku.
Ia menuntun aku di jalan yang benar
oleh karena nama-Nya.
Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman,
aku tidak takut bahaya,
sebab Engkau besertaku;
gada-Mu dan tongkat-Mu,
itulah yang menghibur aku.
Engkau menyediakan hidangan bagiku,
di hadapan lawanku;
Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak;
pialaku penuh melimpah.
Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku,
seumur hidupku;
dan aku akan diam dalam rumah TUHAN
sepanjang masa.
–Maz 23:1-6
Renungkanlah semua medan dalam perjalanan hidup kita.
Saat memandang kembali mazmur ini, kita melihat bahwa hidup itu tidak melulu mengenai sungai yang tenang dan padang yang berumput hijau. Daud menulis, ”Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya.” Ini adalah lembah kekelaman yang kelam; sebuah lembah yang menyembunyikan para penyamun dan pemangsa. Sebuah lembah di mana musuh yang mengintai tersamarkan dan ketakutan akan memancing imajinasi — bukan pemandangan yang cocok untuk ditaruh di cangkir kopi. Namun, limpahan penghiburan yang kita dapatkan bahkan di tempat semacam ini yang membuat mazmur ini yang paling difavoritkan di sepanjang sejarah.
Renungkanlah siapa yang memimpin di sana. Kita seringkali tidak memikirkan siapa yang membawa kita ke lembah itu. Jalan kekelaman ini tidak kita pilih sendiri. Domba-domba itu, meskipun agak bodoh, tidak berjalan dengan sukarela ke tempat-tempat yang gelap. Mereka bukan singa sehingga mereka bisa begitu sembrono. Jalan yang gelap adalah tempat para domba mati. Jadi, dari semua tempat, bagaimana Daud malahan pada akhirnya berada di sana? Gembalanya yang menuntunnya.
Kristus, Sang Gembala yang baik, membaringkan kita di padang yang berumput hijau; membimbing kita ke air yang tenang; dan membimbing kita melewati lembah yang kelam. Betapa pentingnya untuk menyadari hal ini. Ketika hidup membuat kita kewalahan, kita tergoda untuk percaya bahwa — jika kita benar-benar milik-Nya — kita tidak akan pernah melintasi tempat-tempat seperti itu. Namun, Daud berpikir sebaliknya. Ketika dia menulis, ”Aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku,” Daud tidak melihat seorang Gembala yang menggaruk kepalanya sambil bertanya-tanya di mana para domba telah mengambil belokan yang salah. Daud percaya bahwa Gembalanya yang memang bermaksud supaya dia melewati jalan tersebut.
”Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku.” Gembalanya, gembala kita, membuat umat-Nya makan di depan orang-orang yang mengincar hidup mereka.
Renungkanlah bahwa Dia datang dengan penuh persiapan. Gembala itu menunjukkan bahwa Dia sudah siap untuk rute ini. Dalam keremangan, Daud bisa melihat siluet senjata. Domba-domba yang rentan, melihat Tuannya bersenjata, bernyanyi, ”Gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.”
Daud, yang juga seorang gembala, tahu kalau gada dan tongkat bukanlah untuk hiasan. Dia mengenal Gembalanya cukup baik untuk mengetahui bahwa Dia bukanlah orang upahan yang akan melarikan diri ketika serigala datang (Yoh. 10:12) — karena Dia tidak meninggalkannya ketika Goliat menyerangnya. Dia tahu bahwa kekelaman itu tunduk pada-Nya. Daud memang tidak bisa melihat seluruh bahaya yang ada di depannya, tetapi dia bisa melihat siapa yang bersamanya — apa yang harus dia takuti?
Renungkanlah mengapa Dia membimbing di sepanjang jalan ini. Di beberapa musim, Dia dengan penuh kemurahan mengizinkan kita untuk duduk di padang yang berumput hijau dan menikmati hari-hari yang cerah. Kadang-kadang, Ia membimbing kita ke air yang tenang, bukan arus deras yang sering kali menenggelamkan domba berbulu tebal ke dasar sungai. Ini adalah saat-saat yang manis.
Namun, dalam semua tuntunan-Nya, di sepanjang jalan-Nya ke mana Ia membawa kita, ”Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya.” Dia menuntun ke arah hal-hal yang membuat kita menjadi lebih serupa seperti-Nya. Terkadang ini berarti belajar untuk beristirahat di padang yang berumput hijau. Di lain waktu ini berarti penghiburan saat berjalan bersama-Nya di tepi air yang tenang. Di lain waktu itu berarti mengikuti-Nya ke dalam kekelaman. Di seluruh jalan yang berbeda-beda ini, kebaikan yang kekal, kemuliaan-Nya, dan keserupaan dengan Sang Gembala merupakan kebenaran yang membimbing.
Renungkanlah satu kata yang sangat penting. Daud menggunakan ekspresi yang dipilih dengan baik, ”Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman.” Dia menuntun kita melewatinya. Lembah kekelaman ini bukanlah tujuan akhir. Kegelapan-yang-dalam bukanlah tempat peristirahatan terakhirnya. Lembah itu hanyalah lorong yang mengarah ke tempat lain. Dikelilingi oleh bahaya, musuh, dan ketidakpastian, Daud tahu bahwa dia akan melewatinya dengan Tuhan yang memimpinnya.
Renungkanlah ke mana semua jalannya akan mengarah. Terkadang Sang Gembala memastikan bahwa lembah-lembah gelap ini hanyalah sekedar bayang-bayang. Setelah menyanyikan mazmurnya Daud berkali-kali, tiga pemuda Yahudi menentang beruang Nebukadnezar; mengetahui bahwa Gembala mereka ada di sana untuk menyelamatkan mereka jika Dia mau. Namun, jika tidak, mereka memutuskan bahwa mereka akan tetap setia. Saat mereka masuk ke dalam perapian, Gembala mereka berdiri bersama mereka. Mereka tidak tersentuh api sedikitpun.
Namun, terkadang kita terluka. Kematian datang. Tragedi terjadi. Hati menjadi hancur. Penganiayaan datang. Terkadang pembebasan yang diharapkan tidak pernah datang. Lalu bagaimana? Apakah Dia masih menuntun kita ”melewati” lembah semacam itu? Ya, Dia masih menuntun kita.
Yesus, Sang Gembala yang agung, memimpin Stefanus (martir pertama) melalui lembah kematian yang gelap menuju ke tempat di mana semua jalannya akhirnya mengarah, yaitu pada: Dia sendiri. Stefanus ”menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah” yang menuntunnya ke dalam kemuliaan. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikutinya, seumur hidupnya – termasuk hari ini (Mzm. 23:6).Tidak peduli kapan kematian akhirnya datang, Yesus, Gembalanya Daud dan Gembala kita, membimbing kita melewati kematian itu sendiri agar kita bisa ”diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa” (Maz 23:6). Allah sendiri adalah akhir dari perjalanannya Daud dalam Mazmur 23. Lembah kekelaman (bahkan ketika lembah tersebut lebih dari kelam) mengarah langsung pada Sang Gembala sendiri. Semuanya hanyalah sungai, jalan, dan lembah yang akan menuju ke rumah abadi kita, yaitu Dia.
***
Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "The Valley We Would Not Choose."