
28 November 2018
Oleh Nathan Carter
Lagi-lagi, ada pendeta yang bunuh diri. Namun, yang kali ini, dia adalah teman dekatku. Jadi saya terus bertanya pada diri sendiri: Bagaimana saya bisa memahami hal ini?
Bagaimanapun juga, orang yang sudah lama jadi pendeta ini bukanlah Saul-palsu (1 Sam. 31:4). Dia adalah orang-percaya sejati yang hidupnya telah menghasilkan banyak buah. Dia bukanlah Yudas yang diliputi rasa bersalah (Mat. 27:5). Dia mengasihi Yesus dan memahami karya pendamaian-Nya Kristus. Dia memiliki teologi yang sehat. Sepertinya, dia juga tidak sedang melarikan diri dari skandal tertentu.
Jadi bagaimana saya bisa memahami tragedi yang mengejutkan ini? Selama sebulan terakhir, saya telah merenungkan bunuh diri temannya saya tersebut dengan mengingat berbagai kenyataan yang berikut ini — yang baik maupun yang buruk. Mungkin semuanya ini akan membantu Anda jika Anda pernah berada dalam situasi yang sama.
IBLIS
Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa ”lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya” (1 Pet. 5:8). Memang ada yang namanya peperangan rohani. Para setan yang licik dan tak terlihat sedang menyerang kita secara terus-menerus; mengucapkan berbagai dusta kebohongan; dan mencari-cari celah dalam perisai kita untuk menanamkan berbagai keraguan-dan-tuduhan yang mungkin menggoda kita untuk menjauh dari Tuhan kita.
Para gembala/pendeta adalah target utamanya para setan. Apakah Iblis terlibat dalam kegelapan yang merusak ini? Tidak diragukan lagi. Namun, [apakah kita akan] berhenti di titik ini dan menyatakan bahwa hanya Iblis sendiri yang menyebabkan temannya saya bunuh diri? Itu terlalu simpel jadinya.
SITUASI-KONDISI
Seperti yang dapat Anda bayangkan, beberapa keadaan-yang-sulit memainkan peran dalam pendeta-temannya saya tersebut hingga bunuh diri.
Dalam kasus ini, dia bekerja keras selama bertahun-tahun melakukan penginjilan; memuridkan; berkhotbah; mengurusi administrasi; dan melakukan pelayanan kasih — namun gereja kecilnya tersebut terus menyusut. Dia mengambil pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Konflik relasional mulai melanda para penatua. Akhirnya, gereja yang menyusut tersebut menjadi kurang dari sepuluh jemaat. Dia kemudian pergi dari sana —merasa terpukul dan putus asa; merasa diperlakukan dengan tidak sepantasnya; merasakan kegagalan sebagai orang yang sudah berumur paruh baya.
Setelah kepergiannya dari gereja tersebut, menjual rumah hanyalah salah satu dari pergumulannya. Putranya kemudian patah tangan. Peran barunya di kota yang baru — sebagai asisten gembala bagi orang yang lebih muda — terasa seperti garam yang ditabur di atas lukanya.
Seperti perkataannya Daud, air telah sampai ke lehernya (Maz. 69:2).
Namun, banyak orang yang telah mengalami kesulitan yang lebih buruk, tetapi tidak menyerah pada keputusasaan. Jadi, kematian temannya saya tersebut tidak dapat dianggap sepenuhnya disebabkan oleh situasi-kondisinya yang menyedihkan tersebut.
SAKIT-PENYAKIT
Seperti yang Anda duga, teman baiknya saya itu memiliki riwayat perawatan medis untuk depresi. Secara ilmiah, kita baru tahu sedikit secara tentang otaknya manusia. Namun, secara teologis, kita selalu tahu bahwa kita adalah jiwa-yang-bertubuh (Kej. 2:7). Allah menciptakan kita dengan tubuh. Dia [Yesus] juga kemudian datang ke dunia dan memiliki tubuh-Nya sendiri. Dia telah berjanji untuk membangkitkan-dan-memuliakan tubuh kita pada suatu hari kelak. Dengan kata lain, keberadaan kita terikat dengan materi fisik — dengan berbagai protein dan proton.
Dalam proses mencari dokter baru, teman saya mulai diterapi dengan dosis obat yang berbeda. Namun, bukannya membantu, hal ini malah mengacaukan pikirannya. Dia tidak bisa berpikir jernih. Ada sesuatu yang tidak beres dalam zat kimiawi otaknya. Pernahkah Anda kurang tidur; atau menggunakan obat-obatan yang sangat keras dampaknya; atau sangat tidak sehat secara hormonal dan kemudian merasa tidak waras? Itu terjadi pada temannya saya.
Penjelasan ini mungkin membantu kita untuk memahami [mengapa hal ini terjadi], namun belum sepenuhnya memuaskan [penjelasannya]. Dia tidak seolah-olah meninggal karena kanker; atau karena kekurangan pengobatan medis lainnya. Dia yang membuat keputusan untuk bunuh diri.
DOSA
Kita harus menganggap Iblis, situasi-kondisi, dan sakit-penyakit ikut bertanggung jawab. Namun, kita juga harus memahami bahwa pilihan fatal temannya saya tersebut adalah dosa yang membuatnya harus dipandang bersalah. Bunuh diri adalah membunuh-diri-sendiri. Itu merupakan pelanggaran terhadap Perintah Keenam. Bunuh diri adalah tindakan egois yang menyakiti banyak orang.
Saudara-pendetanya saya yang terkasih tersebut meninggalkan seorang janda yang remuk hati dan tiga anak yang kebingungan. Dia meninggalkan gerejanya. Pada saat-saat terakhir dalam kegelapan yang berputar-putar itu, dia gagal mempercayai Allah dan mengambil tindakannya sendiri. Dia memiliki iman-yang-menyimpang; dan menyerah pada kepahitan-dan-keputusasaan.
Bunuh diri tidak pernah bisa menjadi solusi yang dapat dimaafkan; atau benar—tidak peduli seberapa besar godaannya; seberapa buruk situasinya; atau seberapa serius kondisinya. Temannya saya tidak hanya membuat pilihan yang buruk, tetapi juga berdosa terhadap Allah dan orang lain.
KESELAMATAN
Apakah dosa bunuh diri berarti si pendeta yang terkasih tersebut tidak bisa diselamatkan? Tidak. Dosa memang tidak konsisten dengan hidupnya orang percaya yang telah dilahirkan kembali. Namun, kita semua dipenuhi dengan ketidakkonsistenan; dan dosa (yaitu 1 Yoh. 2:1). Bahkan, para pemimpin rohani yang besar juga gagal total dan melakukan kejahatan yang mengerikan. Perhatikan saja Raja Daud yang sampai melakukan pembunuhan dan perzinahan.
Namun, Daud kemudian bertobat (Maz. 51)— temannya saya mungkin tidak. Lagi pula, ketika seseorang bunuh diri, jarang ada cukup waktu [baginya untuk bertobat].
Di sinilah pemahamannya Kristen-Protestan tentang pembenaran oleh iman saja sangat penting. Kita dipersatukan dengan Kristus, tanpa pernah bisa dipisahkan, oleh kasih karunia melalui iman kita yang sering goyah tersebut—bukan melalui perbuatan kita yang berfluktuasi. Setelah pertobatan kita, karya-Nya Kristus tidak dapat ditarik kembali sehingga menjadi milik kita. Kematian-Nya membayar sepenuhnya semua dosa kita pada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kehidupan-Nya yang unik, yang identik dengan kasih-setia, sepenuhnya diperhitungkan pada kita dan dikenakan pada kita. Dengan kata lain, bagi orang Kristen, keputusan akhir zaman-Nya Allah telah diputuskan tanpa pernah bisa diubah lagi; dan telah diperhitungkan terhadap kita — [sebagai orang] BENAR, kata-Nya, meskipun kita tetaplah orang yang berdosa; yang tidak selalu meminta pengampunan setiap kali kita melakukan dosa tertentu.
KEDAULATAN
Ketika seseorang bunuh diri, jarang ada satu penyebab utama yang bisa menjelaskan [mengapa hal itu terjadi]. Sering kali, ini merupakan hasil dari banyak faktor kompleks di dunia yang sudah terjatuh dalam dosa ini. Secara alkitabiah dan teologis, berbagai kategori yang disebutkan di atas seharusnya membantu kita untuk terhindar dari jawaban yang simpel, walaupun bisa menggerakkan kita menuju beberapa pemahaman yang serupa.
Namun, pada akhirnya, semuanya itu masih tidak masuk akal. Mengapa musuh yang sudah kalah seperti Iblis masih bisa mendatangkan malapetaka seperti itu? Mengapa, jika Kristus sedang membangun Gereja-Nya, situasi-kondisi kehidupan dan pelayanan temannya saya begitu sulit? Mengapa para dokter tidak bisa mengobati sakit-penyakitnya? Mengapa Allah tidak menyembuhkannya? Bagaimana mungkin seseorang yang begitu waras dan tidak mementingkan diri sendiri sampai melakukan sesuatu yang begitu bodoh dan berdosa?
Kita memiliki begitu banyak pertanyaan yang tidak terjawab karena kita bukanlah Allah. Berbagai perkara yang rahasia hanya milik-Nya semata (Ula. 29:29). Kita tidak bisa sepenuhnya memahami berbagai jalan-Nya yang tidak dapat dipahami tersebut (Rom. 11:33). Hari-hari kita — termasuk hari terakhirnya kita — telah ditulis di dalam kitab-Nya Allah bahkan sejak sebelum kita dilahirkan (Maz. 139:16). Artinya, pada akhirnya, entah bagaimana, hal yang mengerikan ini bisa terjadi sesuai dengan rencana baik-Nya Allah.
Saya bergumul secara mendalam dengan semuanya ini. Saya tidak bisa begitu memahami semuanya ini. Semuanya itu tidak masuk akal bagi saya. Namun, pada akhirnya, saya hanya bisa percaya kepada Allah.
Lagi pula, jika Allah tidak mengatur segala sesuatunya sesuai dengan rencana-Nya yang misterius, namun bijaksana dan baik, maka dunia kita sama sekali tidak berarti dan tanpa pengharapan. Namun, kematian-Nya Kristus yang mengerikan terkait dengan penggenapan Kitab Suci (1 Kor. 15:3)—diikuti oleh kebangkitan-Nya yang penuh kemenangan dan janji kedatangan-Nya— memberi saya alasan yang baik untuk beristirahat dalam kedaulatan-Nya bahkan di tengah-tengah situasi yang menyakitkan dan membingungkan ini.
Artikel ini diterjemahkan dari “When A Pastor Commits Suicide.”