Kelemahannya Anda Mungkin Adalah Kekuatannya Anda yang Terbesar

19 Agustus 2021
Artikel oleh Jon Bloom
Staf penulis, desiringGod.org


Seberapa baik Anda berinvestasi pada kelemahan yang telah diberikan pada Anda?

Mungkin tidak ada yang pernah menanyakan pertanyaan tersebut pada Anda sebelumnya. Mungkin karena terdengar konyol. Bagaimanapun, orang-orang biasanya berinvestasi pada aset untuk meningkatkan nilai mereka. Mereka tidak berinvestasi pada liabilitas. Mereka mencoba menghilangkan, mengurangi, atau bahkan menutupi liabilitas. Mudah untuk melihat kekuatan kita sebagai aset. Namun, kebanyakan dari kita secara alami melihat kelemahan sebagai liabilitas — sebuah kekurangan yang berusaha kita kurangi atau tutupi. 

Namun, melalui pemeliharaan-Nya, Allah memberi kita kelemahan seperti halnya kekuatan. Dalam hitung-hitungan-Nya, ketika keuntungan bagi investasi yang paling dihargai-Nya adalah iman-yang-bekerja-oleh-kasih (Gal. 5:6), kekurangan bisa menjadi aset. Kita bahkan bisa menyebutnya sebagai talenta – untuk dikelola; diinvestasikan. Bisa jadi aset paling berharga yang diberikan Allah pada Anda untuk dikelola bukanlah kekuatan, melainkan kelemahan.

Namun, jika kita ingin memandang kelemahan sebagai aset, kita perlu dengan jelas melihat bagian Alkitab yang mengajarkan mengenai hal ini. Rasul Paulus menunjukkan teologi yang paling jelas mengenai nilai yang begitu tinggi dari sebuah kelemahan. Saya memandang bagian Surat 1 Korintus 1:18 – 2:16, dan bahkan keseluruhan Surat 2 Korintus, sangat membantu dalam memahami peran penting dari kelemahan kita dalam menguatkan iman dan kesaksian orang Kristen dan jemaat secara keseluruhan.

Paradoks Dari Kuasa Kelemahan

Pernyataan Paulus yang paling terkenal mengenai paradoks dari kuasa rohaninya kelemahan seseorang muncul dalam Surat 2 Korintus 12. Dia memberitahu kita mengenai pengalaman rohaninya ketika ”tiba-tiba diangkat ke Firdaus” dan menerima ”kata-kata yang tak terkatakan, yang tidak boleh diucapkan manusia” (2 Kor. 12:1-4). Namun, sebagai hasil dari peristiwa tersebut, sebuah duri-dalam-daging diberikan padanya, yaitu ”seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ’Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.’ Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Kor. 12:7-10).

Melalui beberapa kalimat ini, Paulus sepenuhnya mengubah cara orang Kristen melihat soal kelemahan. Bahkan termasuk kelemahan yang paling menyakitkan yang sepertinya menghalangi panggilan kita dan yang sepertinya merupakan kelemahan yang akan dieksploitasi oleh kuasa kegelapan. Apa yang tampak bagi kita sepertinya merupakan liabilitas-yang-besar bisa diubah menjadi sesuatu yang berharga, yaitu menjadi aset-yang-diberikan-Tuhan. 

Kelemahan dan Dosa   

Sebelum melanjutkan lebih jauh, kita perlu jelas memahami kalau Paulus tidak memaksudkan ”dosa” dalam deskripsinya mengenai kelemahan pada bagian ini. Kata Yunani yang digunakan Paulus adalah astheneia. Ini merupakan kata yang umum digunakan untuk merujuk pada ”kelemahan” dalam Perjanjian Baru (PB). J.I. Packer, melalui tulisannya yang berbobot mengenai Surat 2 Korintus, Kelemahan Adalah Jalannya, menjelaskan astheneia sebagai berikut: ”Idenya dari awal sampai akhir adalah mengenai ketidaksanggupan. Kita berbicara mengenai kelemahan fisik [termasuk sakit penyakit dan cacat tubuh]… kelemahan intelektual… kelemahan pribadi… posisi yang lemah ketika seseorang kekurangan sumber daya yang diperlukan dan tidak bisa menggerakkan situasi menjadi lebih baik atau mempengaruhi sebuah peristiwa sesuai yang diinginkannya… sebuah hubungan yang lemah ketika seseorang seharusnya memimpin dan menuntun, tetapi malah gagal melakukannya  — seperti orangtua yang lemah, para gembala yang lemah, dan seterusnya” (13–14).

Namun, ketika Paulus membahas mengenai dosa, dia memikirkan lebih dari sekadar ketidaksanggupan. Dia biasa menggunakan kata Yunani hamartia untuk merujuk pada ”dosa”. Kata ini merujuk pada sesuatu yang dipandang salah di hadapan Allah. Hamartia terjadi ketika kita berpikir, bertindak, dan merasakan dengan cara yang melanggar apa yang dilarang oleh Allah. 

Meskipun Paulus sadar kalau hamartia bisa menyebabkan astheneia (1 Kor. 11:27-30) dan sebaliknya astheneia bisa menjadi hamartia (Mat. 26:41), dia jelas tidak memandang ”kelemahan” sebagai sinonim bagi ”dosa”. Paulus menegur mereka yang memegahkan dosanya karena menganggap dosanya bisa menunjukkan kuasa-dan-besarnya kasih karunia Allah (Rom. 6:1-2). Namun, Paulus justru ”memegahkan” kelemahannya karena menganggap semuanya itu bisa menunjukkan kuasa-dan-besarnya kasih karunia Allah (2 Kor. 12:9).  

Ketika berdosa, kita berpaling dari Allah pada berbagai berhala. Hal ini berarti akan menghujat Allah; menghancurkan iman; dan mengaburkan Allah di mata orang lain. Namun, kelemahan memiliki kecenderungan untuk meningkatkan kesadaran kita untuk bergantung pada Allah. Hal ini berarti akan memuliakan-Nya; menguatkan iman kita; dan menunjukkan kuasa-Nya dengan cara yang tidak bisa ditunjukkan melalui kekuatan kita. 

Itulah nilai yang mengejutkan dari kelemahan karena bisa menyatakan kuasa Allah di dalam diri kita dengan cara yang tidak bisa ditunjukkan melalui kekuatan kita. Itulah yang dimaksud Yesus ketika Dia memberitahu Paulus, ”… sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor. 12:9) — ”sempurna” dalam arti ”lengkap” atau ”sudah sepenuhnya selesai”. Kelemahan kita sangat diperlukan karena Allah menyatakan kesempurnaan kuasa-Nya melalui kelemahan tersebut.  

Aset yang Menyamar Sebagai Liabilitas 

Pada titik ini, Anda mungkin berpikir, ”Apa pun yang dimaksud duri-dalam-dagingnya Paulus, kelemahan saya bukan yang seperti itu.” Benar, itulah yang kita semua pikirkan. 

Saya memiliki kelemahan berupa duri dalam daging yang hanya diketahui mereka yang paling dekat dengan saya. Jika saya membagikan soal ini dengan Anda, Anda mungkin akan terkejut. Kelemahan tersebut meresahkan saya setiap hari ketika saya sedang menjalankan tanggungjawab sebagai kepala keluarga, pekerja, dan penatalayan. Semuanya itu membuat segala sesuatu menjadi lebih sukar dan secara berkala mencobai saya untuk merasa jengkel. Jelas semuanya itu bukan sesuatu yang romantis, apalagi heroik.  Semuanya itu membuat saya semakin rendah hati dengan cara yang memalukan, bukan yang meneguhkan. Yang terasa paling menyakitkan, saya bisa melihat semua kelemahan tersebut, dengan cara tertentu, telah menyulitkan hidup orang yang hidup-dan-bekerja di sekitar saya. Sering kali semuanya itu terlihat sebagai liabilitas bagi saya. Saya sudah memohon pada Tuhan, bahkan sambil menangis, supaya semua kelemahan tersebut ditiadakan; atau saya diberi kuasa untuk mengatasinya. Namun, semuanya masih tetap ada.  

Paulus juga awalnya melihat kelemahannya sebagai liabilitas yang menyesakkan hati. Ia memohon berkali-kali supaya bisa dilepaskan dari semuanya itu. Namun, segera setelah dia memahami tujuan Kristus melalui semua kelemahan tersebut, dia melihat cahaya terang baru, yaitu sebuah aset berharga yang menyamar sebagai sebuah liabilitas. Ia memuliakan kedalaman pengetahuan-dan-hikmat-Nya Allah dan kasih karunia-Nya yang besar. 

    Dibandingkan Paulus, saya memang lebih lamban dalam memahami duri-dalam-dagingnya saya sebagai aset (jujur, saya bahkan masih mencoba memahaminya). Namun, saya setidaknya sudah bisa melihat kelemahan ini, dengan beberapa cara tertentu, telah menguatkan saya. Kelemahan ini memaksa saya untuk hidup, dengan iman, bergantung pada kasih karunia-Nya Allah setiap hari. Kelemahan ini membuat saya semakin mensyukuri kehadiran orang-orang yang ditaruh Allah di sekitar saya yang memiliki kekuatan di area di mana saya lemah. Bergumul dengan kelemahan saya sendiri, saya cenderung menjadi lebih lembut-dan-sabar dalam berurusan dengan orang yang bergumul dengan kelemahan yang berbeda dari yang saya miliki (Ibr. 5:2). Saya kini bisa melihat bagaimana semua kelemahan ini membumbui apa yang telah saya tulis selama bertahun-tahun dengan hikmat tertentu yang saya ragukan akan saya dapatkan tanpa memiliki semua kelemahan ini. Dengan kata lain, saya melihat berbagai cara yang digunakan Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya secara lebih sempurna melalui kelemahan saya yang membingungkan. 

    Fakta kalau kita tidak tahu apa yang menjadi duri-dalam-dagingnya Paulus adalah bukti akan hikmat bijaksana-Nya Allah. Jika kita tahu, besar kemungkinan kita akan membandingkan kelemahan kita dengan kelemahannya dan mengira kelemahan kita tidak memiliki nilai rohani apa pun. Kita akan salah. 

Penatalayan Akan Berbagai Karunia yang Mengejutkan

Paulus menyatakan kalau kelemahannya, duri-dalam-dagingnya tersebut, diberikan padanya (2 Kor. 12:7). Diberi oleh siapa? Apa pun peran yang dimainkan Iblis, dalam pikiran Paulus, itu merupakan urusan kedua. Paulus menerima semua kelemahan tersebut, seperti halnya ”siksaan, kesukaran, penganiayaan dan kesesakan” (2 Kor. 12:10), sebagai aset yang diberikan padanya oleh Tuhan. Sebagai [penatalayan] ”yang dipercayakan rahasia Allah” (1 Kor. 4:1),  dia menganggap kelemahannya sebagai bagian penting dari aset yang dipercayakan Tuannya padanya. Jadi, dia bertekad untuk menumbuhkembangkannya dengan baik supaya ketika Sang Tuan kembali kelak Ia bisa melihat imbalan hasil yang sebesar-besarnya.

Jika Anda familier dengan perumpamaan Yesus mengenai talenta (Mat. 25:14-30), Anda mungkin bisa memahami kalau saya sedang menggunakan gambaran tersebut. Yesus telah memberikan kita talenta yang berbeda-beda untuk dikelola, nilai dari asetnya Kerajaan yang akan segera datang, ”masing-masing menurut kesanggupannya” (Mat. 25:15). Tuhan mengharapkan kita bisa mengelolanya dengan baik sambil menantikan kedatangan-Nya kembali. 

Beberapa dari talenta ini mencakup kekuatan-dan-kemampuan yang diberikan Tuhan pada kita. Namun, beberapa di antaranya termasuk kelemahan kita, berbagai kekurangan dan keterbatasan kita, yang juga diberikan-Nya pada kita. Tuhan memberikan berbagai kelemahan ini bukan hanya untuk menambah harta-rendah-hati yang tak ternilai dan bisa dibagikan (2 Kor. 12:7), melainkan juga untuk menambah kekuatan kita dalam aspek terpenting dalam keberadaan kita, yaitu iman dan kasih (2 Kor. 12:10).

Namun, kelemahan kita tidak hanya diberikan pada orang-per-orang, tetapi juga pada Gereja. Keterbatasan kita, seperti halnya kemampuan kita, penting bagi rancangan Kristus bagi tubuh-Nya supaya bisa bekerja dengan baik dan ”membangun dirinya dalam kasih” (Efe. 4:16). Kelemahan membuat kita saling tergantung sama lain ketika kekuatan kita tidak bisa melakukan hal tersebut (1 Kor. 12:21-26). Artinya, kelemahan diberikan pada Gereja untuk alasan yang sama diberikan pada kita secara pribadi, yaitu supaya Gereja bisa bertumbuh kuat dalam iman (1 Kor. 2:3-5) dan kasih (1 Kor. 13) — dua kualitas yang secara unik menyatakan realitas-dan-kuasa-Nya Yesus pada dunia (Yoh. 13:35). 

Jangan Menguburkan Kelemahannya Anda 

Suatu hari, ketika Tuan kita kembali kelak, Dia akan meminta pertanggungjawaban dari talenta yang telah dipercayakan pada kita. Beberapa dari talenta ini adalah kelemahannya kita. Kita tidak mau menyampaikan pada-Nya kalau kita telah menguburkan kelemahan tersebut. Mungkin saja itu merupakan talenta berharga dalam aspek investasi kita yang memang berupa kelemahan. 

Karena ”yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai” (1 Kor. 4:2), adalah bijak bagi kita untuk menguji seberapa setia kita dalam menatalayani berbagai talenta yang terkait kelemahan kita. Jadi, seberapa baik Anda berinvestasi pada kelemahan yang telah diberikan pada Anda?

***

Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul 'Weakness MaY Be Your Greatest Strength.'

You may also like...

Tinggalkan Balasan