Berbagai Nasihat Keliru Lainnya Bagi Para Suami yang Baru Menikah
19 Juni 2018
Artikel oleh Greg Morse
Staf Penulis, desiringGod.org
Judulnya berbunyi, “Bagaimana Saya Bisa Membuat Suami Menjadi Tidak Pasif?”
Klik.
Si penulis, yang adalah seorang istri dan psikolog klinis, membicarakan berbagai keluhan umum yang disampaikan kaum wanita dari berbagai usia kepadanya, yaitu mengenai suami mereka yang tidak memiliki keinginan akan apa pun selain malas-malasan di sofa dan menonton. Para istri ini ingin tahu bagaimana membuat suami mereka melakukan sesuatu selain menatap televisi, laptop, atau smartphone; dan bagaimana membuat mereka berinisiatif memulai sesuatu selain kemesraan secara fisik.
Mereka ingin suaminya yang merencanakan kencan; memulai perbincangan; bermain dengan anak-anak; memperjuangkan diri mereka sendiri (di tempat kerja) dan istri mereka (di hadapan mertua); atau menunjukkan kepedulian terhadap berbagai keputusan sehari-hari. Hal-hal yang tadinya sengaja dilakukan oleh para suami ketika mengejar para istri selama berkencan telah mengalami penurunan setelah menikah.
Masalah Usia
Keluhan ini, tentu saja, bukanlah hal baru. Firdaus hilang ketika pria pertama mengambil jalan pintas perdamaian dalam pernikahannya. Si ular mendesiskan kebohongan di telinganya si wanita. Si pria hanya diam. Alih-alih menjadi momen yang tidak nyaman dengan istrinya; dan kemudian langsung meremukkan kepala si ular, si pria malah memperhatikan ketika istrinya memakan buah tersebut. Kompromi memang melahirkan dosa yang lain lagi. Si pria pun ikut memakannya juga (Kej. 3:6).
Kita melihat kepasifan Adam menggema dalam banyak pernikahan saat ini. Godaan untuk absen secara emosional-dan-rohani (ketika ia hadir secara fisik) hanya mengenai gayanya saja yang berubah dari waktu ke waktu. Sikap berdiam yang bukan seperti laki-laki masih mengundang para pria untuk berbaring di kursi penumpang. Allah memanggil para suami pada zaman ini dengan pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan-Nya di taman Eden: ”Di manakah engkau?”
Di manakah kita? Terlalu sering kita menyerah pada skema yang memberi kita tanggung jawab yang lebih sedikit dan kesempatan untuk menonton pertandingan olahraga yang lebih banyak. Maskulinitas yang mengarah melalui pengorbanan-dengan-kasih terasa seperti spesies yang langka. Beberapa petuah yang diberikan kepada saya sebagai seorang pria yang baru menikah mungkin menghambat, alih-alih membantu, keterlibatan dalam tanggung jawab aktifnya saya sebagai suami yang diperlihatkan dalam Yesus Kristus.
Pertimbangkanlah empat nasihat yang naif dan mudah disalahpahami yang diberikan pada para suami yang baru menikah; yang bahkan berasal dari sesama orang Kristen yang sebetulnya bermaksud baik.
‘Jika Istri Bahagia, Hidup pun Akan Bahagia’
Saran ini mungkin masih bisa diterima. Suami memang harus melimpahi ratunya dengan penuh kasih dan mendapati banyak sukacita padanya. Seseorang bisa saja mengatakannya dari sudut pandang kekekalan. Jika istri bahagia (dalam Tuhan), maka hidup pun akan bahagia. Namun, apa yang paling sering dimaksud dengan kalimat ini tidak boleh dilewatkan, yaitu kehidupan seorang suami tidak terlalu menderita ketika istrinya telah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Pembiaran seperti itu akan mencobai. Tidak ada konflik. Tidak ada pengantin yang tidak merasa bahagia. Tidak ada yang disalahkan. Membiarkan istri melakukan apa yang diinginkannya memang akan terasa jauh lebih nyaman daripada membuat keputusan yang tidak populer tentang hal-hal yang berat; yang Anda pikirkan (dan doakan) mengenai apa yang terbaik secara rohani bagi dirinya dan keluarganya Anda. Apakah itu mengenai tempat di mana anak-anak Anda bersekolah; berjemaat di gereja mana; di mana tempat tinggal Anda yang selanjutnya; kapan memiliki anak; atau berbagai pilihan sulit yang membutuhkan kekuatan rohani, keberanian, dan iman.
Namun, Kristus menciptakan para pria untuk memulai sesuatu dan memikul tanggung jawab. Kemuliaannya adalah untuk berkorban. Misinya adalah memimpin istri dan keluarganya dari garis depan; dengan lututnya. Meskipun tanggung jawabnya mencakup tentang perkembangan istri, namun kesehatan kepemimpinan kita tidak hanya bergantung pada arus gelombang kebahagiaan duniawi pasangan kita setiap hari, tetapi juga bergantung pada konsistensi kita dalam menaati Tuannya kita. Anda bisa memiliki istri yang bahagia dan yang mengatur yang sehingga memiliki hidup yang dangkal dan terasa tanpa hambatan. Namun, semuanya malah berakhir dengan seorang Tuan yang tidak senang dengan semuanya itu.
Pada akhirnya, mentalitas ”jika istri bahagia, hidup pun akan bahagia” akan seperti seseorang yang melempar mainannya ke dalam lemari dan kemudian pergi keluar bermain. Istri bahagia, maka hidup akan lebih mudah tidak mengarah pada kebahagiaan, tetapi pada lemari yang penuh dengan penyesalan, kepahitan, dan keegoisan (yang pada akhirnya harus kita buka semua). Hal itu menjadi bumerang bagi kita bahkan membuat semakin banyak orang yang tidak percaya bertanya-tanya bagaimana membuat suami mereka menjadi tidak pasif. Sukacita kekal dalam pernikahan kita ditemukan dalam menghidupi kisah Kristus dan mempelai-Nya; bukan mengenai Adam dan istrinya.
‘Pasangan Anda Adalah Sahabat Terbaiknya Anda’
Dia bukan hanya sekadar BFF (best friend forever) karena pernikahan bukanlah persahabatan. Ini bukan kemitraan simetris di mana pola hubungan dapat saling berganti. Keanggunan tariannya terdiri dari si suami yang memimpin dengan tegas, penuh kasih, penuh perhatian sementara si istri mengikuti ritmenya tanpa rasa takut, menerima dengan sukacita — yang mana jauh lebih dari sekadar persahabatan. Tarian itu akan kacau ketika suami yang malah berupaya untuk mengikuti ritme istrinya.
Nah, jika yang kita maksudkan bahwa dialah orang yang Anda percaya untuk berbagi rahasia; orang yang paling berharga di dunia bagi Anda, maka memang ini adalah suatu kemuliaan. Namun, pernikahan kita lebih dari sekadar kemitraan yang datar-datar saja.
Kemuliaan seorang pasangan melebihi kemuliaan seorang teman. Peristiwa ajaib ketika Allah menyatukan seorang suami dan istri bersama dalam ikatan yang tidak dapat diputuskan oleh siapa pun bagaikan mawar yang tidak bisa disembunyikan, bahkan di tengah-tengah taman persahabatan yang indah. Drama pernikahan memainkan percintaan yang luar biasa. Bunga seperti ini, dengan nama lain, pasti berbau khas yang manis.
Menari balet bukanlah berdansa. Bulan bukanlah matahari. Teman bukanlah pasangan.
‘Jadilah Pemimpin yang Melayani’
Yang pasti, aspek ini sangat tepat: Yesus datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mar. 10:45). Bahwa suami semestinya menjadi seperti Yesus dalam pengorbanan yang memberikan diri seperti itu memang tidak perlu diragukan lagi. Menjadi pemimpin-yang-melayani adalah nasihat yang bagus — ketika kedua kata itu terikat satu sama lain.
Namun, sering kali tidak seperti itu. Bagi beberapa orang, paradoks pemimpin-yang-melayani bisa bergeser menjadi hanya bermakna pelayan. Anda mengorbankan berbagai keyakinannya Anda untuk setiap-dan-semua ambisinya istri Anda. Anda menerima panggilannya, bukan karena keadaan yang luar biasa, tetapi karena Anda hanya ingin mengabaikan cita-citanya Anda demi dirinya. Anda memanjakannya, tidak pernah memintanya untuk melakukan apa pun yang tidak ingin dilakukannya — bahkan ketika Anda berpikir hal itu adalah yang terbaik bagi sukacita terbesarnya di dalam Tuhan.
Seorang pelayan yang bermaksud baik (tetapi bukan seorang pemimpin) dalam upaya yang jujur untuk mengasihi-dan-melayani istrinya dengan baik akan berhenti menjalani suatu jenis pelayanan yang mengacaukan panggilannya untuk menjadi seorang suami; memikul tanggung jawab; mengambil inisiatif; dan merasakan beban dari keputusan yang paling sulit.
Saya lebih suka kepemimpinan-yang-berkorban: ”Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Efesus 5:25). Ini adalah kepemimpinan yang tidak melepaskan tanggung jawabnya (atau meminta maaf untuk wewenangnya); melihat kepemimpinan sebagai panggilan untuk mengorbankan kenyamanan diri sendiri terlebih dahulu demi kebaikan keluarga dan sesama.
‘Pernikahan Adalah 50/50’
Pernikahan, khususnya bagi laki-laki, bukanlah mengenai 50/50. Seorang pria tidak mewajibkan para wanita untuk melayani Anda terlebih dahulu sebelum Anda melayaninya. Kepemimpinan tidak hitung-hitungan. Anda tidak pergi terlalu jauh hingga dia bisa menyusul. Anda tidak membatasi kesabarannya Anda; kebaikan, kelemah-lembutan, dan kebajikannya Anda hingga dia bisa menyamainya. Kasih seorang suami tidak menanggung semua hal; tidak percaya semua hal; tidak berharap semua hal hanya untuk separuh waktu. Para suami tidak menunggu pergantian untuk memulai.
Yesus tidak menunggu mempelai wanita-Nya bertemu dengan-Nya di tengah jalan. Mempelai-Nya tidak menanggung setengah dari cambuk atau salib. Yesus, dengan jantan, mengorbankan segala sesuatu untuk kesejahteraan mempelai-Nya— ketika sang mempelai masih berdosa. Dia memberikan seluruh hidup-Nya untuk mempelai-Nya tersebut. Tidak ada 50/50 tentang pengorbanan. Kepemimpinan-yang-berkorban sangat bahagia dalam kasih Kristus ini sehingga kita mau menyerahkan hidup kita seperti yang dilakukan-Nya.
Para suami, kasihilah istrimu seperti Kristus mengasihi Gereja-Nya. Para suami tidak berharap para istrinya untuk mengambil penghasilannya hanya sebesar lima puluh persen untuk berbagai tagihan yang terkait kebutuhan anak-anak. Pernikahan yang dimulai 50/50, sering kali berakhir 50/50 — membagi setengah dari aset kepemilikan seseorang dalam perceraian.
Tunjukkan Bahwa Anda Memang Laki-laki
”Mengapa kamu berharap aku lebih lunak? Apakah kamu ingin aku salah dengan kodratku? Sebaliknya katakan aku, berperanlah selayaknya laki-laki.” —Coriolanus
Masyarakat kita yang dipengaruhi feminisme; menolak Alkitab; dan merendahkan kepemimpinan berharap para pria sejati menjadi lebih lembek. Mereka berharap Anda menjadi pasif. Mereka berharap Anda menjadi diam.
Namun, Allah menugaskan Anda untuk berbicara; untuk berkorban; untuk meremukkan kepalanya si ular. Dia memanggil Anda untuk jujur pada keberadaan diri Anda – yang diberikannya pada Anda – dan menunjukkan bahwa diri Anda memang adalah laki-laki. Seorang pria tidak malu-malu; bertindak tegas; tidak lemah dalam iman: ”Berjaga-jagalah! Berdirilah dengan teguh dalam iman! Bersikaplah sebagai laki-laki! Dan tetap kuat!” (1 Kor. 16:13).
Pertanyaan berikut ini tidak bisa ditanyakan pada para pria: ”Bagaimana membuat suami saya menjadi lebih tidak pasif?” Seperti yang digambarkan C.S. Lewis, pria adalah orang yang pertama-tama pergi ke medan perang dan mundur paling terakhir. Dia, untuk kebenaran dan demi kehormatan, ”berdiri teguh dan tahan menderita lama”. Allah memanggil Anda untuk semakin menjadi pria yang seperti ini; dan menguatkan Anda untuk menjadi pria yang seperti itu ketika Anda merasa lemah. Berdirilah dengan teguh; jadilah kuat, kejarlah kekuatan sejati dan teladan dari Yesus Kristus. Demi Sang Rajanya Anda; istrinya Anda; dan keluarganya Anda di masa depan.
***
Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "‘Happy Wife, Happy Life’ And Other Misleading Advice to Young Husbands."