3 April 2014
Artikel oleh .
Pendiri dan Pengajar, desiringGod.org
Menyimak adalah salah satu hal termudah yang akan pernah Anda lakukan. Juga, itu merupakan salah satu hal yang tersulit.
Dalam arti tertentu, menyimak itu mudah – atau sekadar mendengarkan itu yang mudah. Mendengarkan tidak menuntut inisiatif dan energi yang dibutuhkan dalam berbicara. Itulah sebabnya “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rom, 10:17, TB). Intinya, mendengarkan itu mudah. Iman bukanlah ekspresi dari aktivitas kita, melainkan penerimaan kita terhadap aktivitas orang lain. Adalah “mendengar dengan iman” (Gal. 3:2,5, AYT) yang menonjolkan berbagai pencapaian-Nya Kristus sehingga menjadi saluran kasih karunia yang memulai dan menopang kehidupan Kristen.
Namun terlepas dari kemudahan ini – atau mungkin justru karena kemudahan ini – kita sering kali menentangnya. Karena dosa kita, kita lebih memilih untuk percaya pada diri kita sendiri daripada orang lain; mengumpulkan kebenaran kita sendiri daripada menerima kebenaran orang lain; mengutarakan pikiran kita daripada mendengarkan orang lain. Menyimak dengan benar, berkelanjutan, dan aktif adalah tindakan iman yang besar; dan merupakan sarana kasih-karunia yang besar baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain dalam suatu persekutuan .
Berbagai Pelajaran Untuk Menyimak dengan Baik
Teks utama terkait dengan urusan menyimaknya orang Kristen mungkin adalah Yak. 1:19 : “… setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (TB). Prinsipnya cukup sederhana dan hampir mustahil untuk dijalani. Seringkali kita lambat untuk mendengar; cepat untuk berbicara; dan cepat untuk marah. Jadi, belajar untuk menyimak dengan baik tidak akan terjadi dalam semalam. Hal itu membutuhkan disiplin, usaha, dan niat-hati Kata orang: Anda akan menjadi semakin mahir seiring berjalannya waktu. Menjadi seorang penyimak yang lebih baik tidak bergantung pada satu tekad-yang-besar untuk berbuat lebih baik dalam satu percakapan, namun pada pengembangan suatu pola tekad-yang-kecil untuk terfokus pada orang-orang tertentu pada momen-momen tertentu.
Saya baru saja diyakinkan bahwa hal ini adalah area pertumbuhan yang diperlukan dalam hidupnya saya – dan mungkin juga hidupnya Anda – berikut adalah enam pelajaran untuk bisa menyimak dengan baik. Kita akan mengambil petunjuk dari tiga paragraf paling penting tentang menyimak di luar Alkitab, bagian tentang “pelayanan menyimak” dalam Life Together karyanya Dietrich Bonhoeffer, serta artikel klasik Discipleship Journal karyanya Janet Dunn, “ Bagaimana Menjadi Seorang Penyimak yang Baik .”
1. Menyimak dengan baik membutuhkan kesabaran.
Pada bagian ini Bonhoeffer memberi kita sesuatu yang harus dihindari, yaitu “jenis menyimak dengan setengah telinga yang berasumsi sudah mengetahui apa yang akan dikatakan orang lain.” Hal ini, katanya, “adalah sikap menyimak yang tidak sabar dan kurang perhatian, yang… hanya menunggu kesempatan untuk berbicara.” Mungkin kita mengira sudah tahu ke mana arah pembicaraannya sehingga kita sudah mulai merumuskan tanggapan kita. Atau, kita sedang berada di tengah-tengah sesuatu ketika seseorang mulai berbicara dengan kita; atau ada komitmen lain yang semakin mendekat sehingga kita berharap hal itu sudah selesai.
Atau, kita mungkin sedang setengah fokus karena perhatian kita yang terpecah oleh lingkungan luar atau dialog-internal dalam diri kita sendiri. Seperti yang dikeluhkan Dunn, “Sayangnya, banyak di antara kita yang terlalu sibuk dengan diri sendiri saat sedang menyimak. Alih-alih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan, kita malah sibuk memutuskan apa yang harus kita katakan sebagai tanggapan atau secara mental menolak sudut pandang orang lain.”
Jadi, secara positif, menyimak dengan baik membutuhkan konsentrasi. Artinya, kita mendengarkan dengan kedua telinga; dan mendengarkan orang lain sampai mereka selesai berbicara. Jarang sekali seorang pembicara memulai dengan hal yang paling penting dan terdalam. Kita perlu mendengar keseluruhan alur pemikirannya; gerbong demi gerbong sebelum mulai melintasi rel.
Menyimak dengan baik akan [membuat kita perlu untuk] mematikan suara dari smartphone kita dan tidak menghentikan ceritanya seseorang, namun menyimaknya dengan penuh perhatian dan kesabaran. Kita santai secara eksternal dan aktif secara internal. Dibutuhkan energi untuk memblokir gangguan yang terus menerus membombardir kita; dan berbagai hal periferal yang terus mengalir ke dalam kesadaran kita sehingga banyak kesempatan yang memungkinkan kita untuk menyela. Ketika kita adalah orang yang cepat untuk berbicara, maka diperlukan kesabaran yang dimampukan oleh Roh untuk tidak hanya cepat mendengar, namun juga untuk terus mendengar.
2. Menyimak dengan baik adalah tindakan kasih.
Menyimak dengan setengah telinga, kata Bonhoeffer, [berarti] “membenci saudaranya dan hanya menunggu kesempatan untuk berbicara dan karena itu [seperti ingin] menyingkirkan orang lain.” Menyimak dengan buruk menolak orang lain. Menyimak dengan baik menerima orang lain. Menyimak dengan buruk akan merendahkan orang lain. Menyimak dengan baik akan membuat mereka merasa eksis dan berarti. Bonhoeffer menulis, “Sama seperti kasih kepada Allah dimulai dengan menyimak Firman-Nya, demikian pula kasih terhadap saudara-saudara dimulai dengan belajar untuk menyimak mereka.”
Menyimak dengan baik itu sejalan dengan pola pikir-Nya Kristus (Fil. 2:5). Menyimak dengan baik itu mengalir dari kerendahan hati yang menganggap orang lain lebih penting daripada diri kita sendiri (Fil. 2:3). Menyimak dengan baik itu tidak hanya mementingkan kepentingannya sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain (Fil. 2:4). Menyimak dengan baik itu sabar dan baik hati (1 Kor. 13:4).
3. Menyimak dengan baik menanyakan berbagai pertanyaan yang perseptif.
Nasihat ini banyak tertulis dalam Kitab Amsal. Orang bodohlah yang “tidak suka kepada pengertian, hanya suka membeberkan isi hatinya” (Ams. 18:2, TB), sehingga “memberi jawab sebelum mendengar” (Ams. 18:13, TB). ”Rancangan di dalam hati manusia itu seperti air yang dalam, tetapi orang yang pandai tahu menimbanya” (Ams. 20:5,TB).
Menyimak dengan baik menanyakan berbagai pertanyaan yang perseptif-dan-terbuka yang tidak menghasilkan jawaban ya atau tidak saja, tetapi dengan lembut seperti mengupas bawang bombay dan menyelidiki apa yang berada di bawah permukaan. Menyimak dengan baik akan memperhatikan dengan cermat komunikasi nonverbal, namun tidak menginterogasi dan mengorek detail yang tidak ingin disampaikan oleh si pembicara. Namun, dengan lemah lembut ia akan menariknya keluar dan membantu mengarahkan si pembicara ke perspektif yang baru melalui berbagai pertanyaan yang cermat namun tulus.
4. Menyimak dengan baik adalah pelayanan.
Menurut Bonhoeffer, sering kali “menyimak dapat memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan berbicara.” Allah ingin orang Kristen lebih dari sekadar menyimak dengan baik, tetapi tidak kurang dari itu. Akan ada hari-hari ketika pelayanan terpenting yang kita lakukan adalah menyediakan bahu kita pada orang yang terluka; memeluk seseorang; mencondongkan tubuh ke depan; melakukan kontak mata; dan mendengarkan kepedihan mereka yang terdalam. Dunn menyatakan kalau
”menyimak dengan baik seringkali meredakan emosi yang menjadi bagian dari masalah yang sedang dibicarakan. Terkadang, melepaskan emosi ini adalah satu-satunya hal yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Si pembicara mungkin tidak menginginkan atau mengharapkan kita untuk mengatakan apa pun sebagai tanggapan.”
Salah satu nasihat Dunn untuk menjadi penyimak yang baik adalah dengan “lebih menekankan pada afirmasi daripada jawaban… sering kali Allah ingin menggunakan saya sebagai saluran kasih-Nya yang meneguhkan tersebut melalui [pelayanannya] saya yang menyimak dengan belas kasih dan pengertian.” Senada dengan Bonhoeffer, “Seringkali seseorang dapat tertolong hanya dengan memiliki seseorang yang mau menyimaknya dengan serius.” Kadang-kadang, yang paling dibutuhkan tetangga kita hanyalah supaya orang lain juga ikut mengetahuinya.
5. Menyimak dengan baik mempersiapkan kita untuk berbicara dengan baik.
Terkadang menyimak dengan baik adalah hanya dengan menyimak; pelayanan yang terbaik adalah dengan berdiam diri. Namun, biasanya menyimak dengan baik mempersiapkan kita untuk menyampaikan kata-kata kasih karunia tepat di tempat di mana orang lain membutuhkannya. Seperti yang ditulis Bonhoeffer, “Kita harus menyimak dengan telinga-Nya Allah agar kita bisa menyampaikan Firman Allah.”
Sementara orang bebal “memberi jawab sebelum mendengar” (Ams. 18:13), maka orang bijak mencoba untuk menolak sikap defensif dan mendengarkan dari sudut pandang yang tidak menghakimi; melatih dirinya untuk tidak merumuskan pendapat atau tanggapan sampai informasi yang terbaru telah tersedia dan keseluruhan cerita telah didengar.
6. Menyimak dengan baik mencerminkan hubungan kita dengan Allah.
Ketidakmampuan kita untuk menyimak perkataannya orang lain dengan baik mungkin merupakan gejala dari sifat cerewet yang ingin menyuarakan suara-Nya Allah. Bonhoeffer mewanti-wanti,
”Barangsiapa tidak dapat lagi menyimak perkataaan saudaranya, maka ia juga tidak akan lagi menyimak perkataan-Nya Allah. Dia tidak akan melakukan apa pun selain berceloteh di hadirat-Nya Allah juga. Inilah permulaan dari matinya kehidupan rohani… Siapa pun yang berpikir bahwa waktunya terlalu berharga untuk dihabiskan dengan berdiam diri pada akhirnya tidak akan punya waktu untuk Allah dan saudaranya, tetapi hanya untuk dirinya sendiri dan untuk kebodohannya sendiri.”
Menyimak dengan baik adalah sarana kasih-karunia yang besar dalam dinamika persekutuan Kristen yang sejati. Itu bukan hanya saluran yang melaluinya Allah terus mencurahkan kasih karunia-Nya ke dalam kehidupan kita, melainkan juga cara-Nya menggunakan kita sebagai sarana kasih karunia-Nya dalam kehidupan orang lain. Menyimak dengan baik mungkin salah satu hal tersulit yang kita pelajari untuk dilakukan. Namun, kita akan merasakan bahwa setiap upaya yang kita lakukan itu sepadan.
***
Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "Six Lessons in Good Listening."