Bagi Para Ayahnya Balita:

Berbagai Pelajaran dari Wisuda Terakhir

 


24 Juli 2023
Artikel oleh Jon Bloom.
Staf Penulis, desiringGod.org


Saya senang mendengarkan rekan-rekan pengajarnya saya yang lebih muda di Desiring God ketika mereka menggambarkan kehidupan mereka sebagai ayah dari para balita. Saya tersenyum (terkadang dalam hati) mendengar tentang malam-malam yang singkat; hari-hari yang menguras energi; dan tantangan dalam memahami bagaimana memenuhi panggilan mereka sebagai ayah di samping panggilan yang menuntut lainnya dari mereka sebagai suami; para penatalayan; dan sebagai jemaat serta pemimpin yang berinvestasi secara signifikan melalui pelayanan mereka dalam jemaat lokalnya. Saya tersenyum karena saya teringat kembali. Itulah yang saya alami dua dekade lalu meskipun rasanya seperti baru kemarin.

Ketika anak kembar kami lahir pada bulan Desember 2004, ketiga anak kami yang lain berusia delapan, enam, dan belum genap berusia dua tahun. Saya sedang belajar bagaimana menjadi seorang ayah sambil mengawasi pelayanan yang berkembang pesat (Desiring God) dan juga melayani sebagai penatua; pemimpin pelayanan ibadah; dan pemimpin kelompok kecil dalam gereja kami. Saya ingat semua pergumulan; pencarian nasihat; dan pembacaan buku yang saya lakukan sebagai seorang ayah muda. Saya ingat mengenai berbagai tebak-menebak; mencoba hal ini dan itu; dan ribuan percakapan dengan istrinya saya, Pam. Saya ingat saat-saat kami merasa kewalahan. Saya ingat mengenai semua keputusan sulit dan perubahan arah yang kami lakukan secara bersama-sama selama ini. Saya ingat ada banyak – hanya Allah yang tahu berapa banyak – doa yang sungguh-sungguh dan terkadang putus asa yang kami panjatkan secara bersama-sama.

Itu adalah tahun-tahun yang padat; sibuk; dan sering kali dipenuhi dengan ujian. Namun, yang membuat saya tersenyum ketika mendengarkan rekan-rekan muda saya yang saleh tersebut adalah mengingat betapa indahnya tahun-tahun itu – sebuah perspektif yang cenderung terlihat lebih jelas dalam retrospeksi daripada berada di tengah-tengah semuanya yang tampak berantakan dan kacau.

Refleksi Segar dari Seorang Ayah yang Lebih Tua

Beberapa minggu yang lalu, anak kembar kami lulus SMA; mengakhiri lebih dari seperempat abad usaha menggembalakan kelima anak kami sejak lahir hingga dewasa. Hal ini menjadikan saya sebagai seorang ayah yang veteran (walaupun tentu saja bukan seorang ahli). Jadi, rekan-rekannya saya bertanya-tanya apakah saya bersedia menuliskan beberapa kata-kata nasihat untuk para ayah yang anak-anaknya masih balita. Meskipun saya dapat mengatakan banyak hal, berikut tiga pelajaran yang sering saya renungkan akhir-akhir ini.

1. Ajarilah mereka dengan hidupnya Anda.

Hal paling berkesan yang mungkin Anda ajarkan kepada anak-anaknya Anda adalah keyakinan yang Anda wujudkan dengan jelas. Izinkan saya berbagi dua hal yang baru-baru ini menjadi kenyataan.

Saya dan istri sama-sama memiliki orangtua yang baru-baru ini merayakan ulang tahun yang bersejarah: ibu saya berusia sembilan puluh tahun pada 2022, dan ayahnya Pam berusia delapan puluh tahun pada musim semi ini. Kami berdua menyiapkan sebuah tulisan untuk menghormati mereka. Dalam tulisannya saya, saya menggambarkan dampak yang tak terhitung yang diberikan ibunya saya kepada saya ketika saya menyaksikan caranya yang dipenuhi pengorbanan untuk mengasihi dan melayani orang-orang yang cacat dalam nama Yesus – yang ditandai dengan betapa dia (dan ayah saya) mengasihi seorang gadis kecil cacat yang rentan yang diadopsinya ke dalam keluarga kami. Dalam tulisannya Pam kepada ayahnya, dia menggambarkan dampak yang tak ternilai atas kasihnya yang mendalam dan nyata terhadap Yesus – yang ditunjukkan dalam air mata ibadah yang ditumpahkannya ketika Pam duduk di sampingnya selama kebaktian Jumat Agung ketika Pam masih sangat kecil.

Yang menarik dari tulisan ini adalah, di antara cara-cara yang sengaja dilakukan orangtua kami untuk mengajari kami ketika kami masih kecil, yang paling menonjol bagi kami adalah cara mereka ketika secara tidak sengaja mengajari kami. Ibunya saya tidak berkorban dengan mencintai dan melayani orang-orang yang cacat demi mengajari saya. Kasihnya mengalir keluar dari hatinya. Itu memang adalah bagian dari dirinya. Ayahnya Pam tidak mengungkapkan kasihnya yang penuh air mata dan rasa syukur kepada Yesus demi mengajar Pam. Cintanya mengalir keluar dari hatinya. Itu memang adalah bagian dari dirinya.

Kini, setelah anak-anak kami mencapai usia dewasa, mereka merenungkan masa kecil mereka dan menjelaskan cara Pam dan saya memengaruhi mereka. Deskripsi mereka juga mengungkapkan hal yang sama. Untuk seluruh waktu dan upaya yang saya lakukan pada waktu membaca Alkitab pada pagi hari dan saat ibadah keluarga, (belum) ada satu pun anak saya yang memasukkan hal-hal tersebut ke dalam deskripsi mereka tersebut. Yang paling menonjol bagi mereka adalah kenangan akan iman-dan-kasih kita yang tidak sempurna, yang terwujud dalam berbagai momen kehidupan yang tidak terprogram; tidak terpoles; dan tidak tertulis – cara yang dengan secara tidak sengaja kita ajarkan kepada mereka.

Bahwa baik saya maupun anak-anaknya saya tidak menyoroti mengenai momen pengajaran Alkitab yang disengaja ketika mengingat-ingat pengaruhnya orangtua kami, bukan berarti momen-momen itu tidak penting — itu tetaplah penting . Hanya saja sebagian besar waktu pengajaran yang kita lakukan merupakan proses yang lambat, bertahap, dan kumulatif dalam proses perolehan pengetahuan anak-anak kita. Momen tersebut biasanya tidak terpatri dalam ingatan mereka sejelas momen pencerahan, yaitu ketika mereka melihat cara kita benar-benar menghayati apa yang kita yakini.

Karena itu, momen mengajarnya Anda yang paling kuat dan mengesankan kemungkinan besar terjadi ketika Anda sama sekali tidak secara sadar sedang berusaha untuk mengajar anak-anaknya Anda. Mereka akan mengingat dengan jelas apa yang keluar dari hatinya Anda sebagai bagian dari dirinya Anda. Anak-anaknya Anda akan mengingat dengan jelas mengenai ajarannya Alkitab yang Anda wujudkan itu.

2. Bersabarlah dengan buah persik hijaunya Anda.

Putrinya saya, Eliana, adalah salah satu orang yang paling sabar dan tenang yang pernah saya kenal. Dia memiliki iman kepada Yesus yang berfungsi sebagai penyeimbang yang penting dalam perahu jiwanya. Hasilnya, dia menjadi orang yang tenang dan menstabilkan ketika terjadi konflik relasional; menjadi kehadiran yang tenang dan meyakinkan bagi jiwa-jiwa yang merasa cemas. Maka, tidak mengherankan, sebagai seorang ibu, dia adalah sosok yang sangat sabar dan bijaksana bagi ketiga anaknya yang masih kecil.

Namun, Eliana tidak selalu sabar dan tenang. Ketika dia masih muda, pikirannya yang dewasa sebelum waktunya; kemauannya yang kuat; kecerdasannya; dan kosakatanya yang banyak dapat menjadikannya sebagai orang yang sulit ditaklukkan. Ketika dia tidak setuju dengan keputusan orangtuanya (yang sering kali terjadi), dia memiliki kemampuan bawaan untuk berdebat seperti pengacara yang terampil dalam suatu pengadilan. Ketika dia marah (yang tidak jarang terjadi), dia bisa menggunakan kata-katanya seperti pedang. Terlalu sering, saya menanggapi dengan terlalu cepat; terlalu kuat; serta penuh dosa terhadap ketidakdewasaan dan dosanya yang terwujud tersebut ketika dia masih kecil.

Kini, ketika saya melihat Eliana dengan bijak dan sabar menanggapi berbagai tantangan dari anak-anaknya yang masih kecil, cerdas, dan fasih berbicara, maka saya bisa melihat dengan lebih jelas berbagai cara bagaimana saya dapat melayani Eliana kecil dengan lebih efektif. Itu membuat saya berharap bahwa sebagai seorang ayah yang lebih muda, saya bisa memiliki kesabaran yang lebih bijaksana dan penuh kemurahan hati seperti halnya Henry Venn.

Pendeta Venn (1724–1797) adalah mentor spiritualnya Charles Simeon (1759–1836) yang akhirnya menjadi orang yang berpengaruh. Ia menggembalakan sebuah gereja tidak jauh dari gereja yang dilayani Simeon di Cambridge, Inggris. Ketika Simeon masih seorang pendeta muda, dia bisa jadi “agak kasar dan terlalu mementingkan diri sendiri”. Suatu ketika, ketika Simeon meninggalkan rumah keluarganya Venn setelah salah satu kunjungannya yang sering dilakukannya, putrinya Henry mengeluh kepada ayah mereka tentang kesombongan Simeon yang merusak. Pendeta tua yang bijaksana itu menanggapinya dengan menunjuk ke sebuah pohon persik di halaman belakang dan berkata,

“Petikkan saya salah satu buah persik itu.” Namun, saat itu masa awal musim panas dan “masa buah persik belum tiba”. Mereka bertanya mengapa dia menginginkan buah yang hijau dan mentah. Venn menjawab, “Nah, sayangku, sekarang persiknya sudah hijau, dan kita harus menunggu. Namun, sedikit sinar matahari lagi; dan sedikit hujan lagi, maka buah persik tersebut akan matang dan manis. Begitu pula dengan Pak Simeon.” ( 27 Hamba dari Sukacita Yang Berdaulat , 321)

Begitu pula dengan Eliana.

Waspadalah terhadap berbagai asumsi yang prematur yang dapat ditimbulkan oleh perilaku menantang dari anak-anaknya Anda. Menurut pengalamannya saya, asumsi seperti itu biasanya tidak akurat. Petunjuk Yakobus agar kita “cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yak. 1:19) merupakan nasihat yang baik bagi para ayah. Pilihlah untuk memandang anak-anaknya Anda dengan penuh kasih-karunia sebagai buah persik hijau yang membutuhkan perawatan yang sabar selama bertahun-tahun dalam usaha kita membesarkan anak. Seiring waktu dan cinta yang konsisten (dalam segala ekspresi yang lembut dan tegas), mereka akan menjadi matang dengan “sedikit lebih banyak sinar matahari lagi; dan sedikit hujan lagi”.

3. Memberikan kasih-karunia atas kegagalan mereka.

Semakin lama saya menjadi seorang ayah, semakin saya merenungkan ayahnya dari si anak yang hilang dalam perumpamaan-Nya Yesus yang indah (Luk. 15:11-32). Semakin besar anak-anaknya saya, semakin saya tersentuh dengan caranya si anak yang sedang mengembara itu memikirkan ayahnya setelah kegagalannya yang menyedihkan dan mendatangkan malapetaka itu.

Setelah menghancurkan hati ayahnya dan menyia-nyiakan kekayaan yang diberikan ayahnya, kepada siapa dia akhirnya meminta bantuan setelah pengejarannya yang egois dan penuh dosa tersebut membuatnya jatuh miskin? Pada ayah yang telah dia tidak hormati itu. Mengapa? Saya pikir karena si anak tersebut mengetahui isi hati ayahnya. Dia mengetahui bahwa ayahnya adalah “penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Kel. 34:6). Dia tahu bahwa jika dia berpaling pada ayahnya, maka dia akan menemukan perlindungan dari penderitaan yang dialaminya.

Ketika membaca perumpamaan ini, sebagai seorang ayah yang lebih berpengalaman, saya mendengar pidato pertobatannya si anak yang telah dilatih sebelumnya, bukan rasa takut dari seorang pemuda terhadap penolakan ayahnya, namun sebuah antisipasi akan kebaikannya – sebuah kebaikan mendasar yang selalu menjadi perlindungan yang menyediakan keselamatan bagi putra yang gagal ini Dalam kesiapannya untuk meninggalkan statusnya sebagai anak, saya mendengar mengenai rasa bersalah dan malunya yang berat; betapa dia merasa tidak layak menerima belas kasihan yang kemungkinan besar akan ditemuinya ketika dia kembali ke rumah. Namun (setidaknya menurut saya), kebaikan ayahnyalah yang menuntunnya untuk bertobat (Rom. 2:4).

Sebagai seorang ayah, Anda tentu ingin melakukan yang terbaik untuk membimbing anaknya Anda agar tidak membuat pilihan berdosa yang membuat Anda bersedih hati. Namun, tentu saja Anda tidak akan berhasil sepenuhnya. Jadi, di antara anugerah terindah yang dapat Anda berikan kepada anak-anaknya Anda, bahkan sejak masa kanak-kanak mereka, adalah menjadi tempat berlindung yang menyediakan belas kasihan; kasih-karunia; kasih setia; dan kesetiaan bagi mereka ketika mereka gagal. Hal ini tidak serta merta menghalangi mereka untuk menempuh jalan sebagai anak yang hilang. Namun, mereka tidak akan melupakan kebaikannya Anda – dan pada suatu hari nanti, kebaikan itu mungkin menjadi sarana kasih karunia yang digunakan Allah untuk menuntun mereka pulang.

Hari yang Panjang, Waktu yang Singkat

Saya tidak ingat di mana saya pertama kali mendengar kutipan ini, namun kutipan ini mencerminkan sebuah kebenaran yang menyedihkan: “Ketika anak-anak kita masih kecil, hari-hari terasa panjang, namun waktunya singkat.” Anda sedang menggiring mereka seperti kucing ke dalam mobil. Lalu, tiba-tiba Anda menoleh dan mereka sudah sedang mengemudikan mobil. Anda sedang menyaksikan siswa kelas duanya Anda yang lincah sedang bernyanyi di pertunjukan sekolah. Tiba-tiba, Anda melihatnya menerima diploma. Anda bertanya-tanya kemana perginya waktu-waktu itu.

Meskipun Anda mungkin sudah mendengarnya ratusan kali, hal ini akan terjadi lebih cepat dari yang Anda kira. Segera, Anda akan mendapati diri Anda mengatakannya kepada para ayah yang lebih muda. Dan [Anda menjadi] tersenyum pada dirimu sendiri.

Ketika anak-anaknya Anda masih kecil, lakukanlah yang terbaik untuk memainkan permainan jangka panjangnya. Jika Anda mewujudkan kasih-Nya Yesus dalam bidang panggilannya Anda (walaupun tidak sempurna), hadapilah “buah persik hijau”-nya Anda dengan sabar saat mereka sedang menjadi matang menuju kedewasaan (walaupun tidak sempurna); berusaha menjadi tempat perlindungan yang aman yang menyediakan belas kasihan; kasih-karunia; cinta yang teguh; dan kesetiaan ketika anak-anaknya Anda gagal (walaupun tidak sempurna), maka Anda akan melimpahkan berbagai berkat yang tak ternilai harganya kepada mereka. Ini bukanlah rumus yang akan memastikan mereka menerima Kristus. Namun, Anda akan mewariskan kepada mereka warisan berupa kasih seperti kasih-Nya Kristus yang tidak akan pernah mereka lupakan; keharuman-Nya Kristus yang akan melekat lama dalam ingatan mereka.

***

Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "For Fathers of Young Children: Lessons from the Last Graduation."

You may also like...

Tinggalkan Balasan