BAB 2
Apa yang Erasmus Ajarkan
Argumen 16:
Kedaulatan Allah tidak meniadakan tanggung jawab kita.
Kamu berargumen kalau pernyataan ”dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Mat. 7:16) mengindikasikan kalau ”buah” berasal dari usaha perbuatan kita sendiri sehingga tidak bisa diberikan oleh Allah melalui Roh Kudus. Ini adalah argumen yang konyol. Kristus dinyatakan sebagai milik kita, meskipun kita menerima-Nya. Mata kita dinyatakan sebagai milik kita, meskipun kita tidak membuatnya! Kamu kemudian menggunakan argumen lain dari Injil Lukas 23:24, ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Kamu menyatakan kalau memang benar kehendak kita tidak bebas, maka lebih baik bagi Yesus untuk memaafkan para pembunuhnya. Karena mereka tidak memiliki ”kehendak-bebas”, mereka tidak bisa melakukan yang sebaliknya. Namun, sanggahan atas argumen ini datang dari perkataan Tuhan kita sendiri bahwa mereka ”tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Bukankah sudah sangat jelas Yesus menyatakan kalau mereka tidak sanggup untuk berkehendak melakukan apa yang baik? Bagaimana mungkin mereka bisa berkehendak atas sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu? Ini adalah pernyataan yang jelas sekali mengenai ketidaksanggupan manusia berkehendak melakukan apa yang baik. Bukan hanya tidak bisa berbuat baik, kehendak manusia juga tidak tahu apa itu jahat, apalagi untuk tahu apa itu baik!
Kemudian, kamu mengutip Injil Yohanes 1:12, ”Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya”. Kamu berargumen: ”Bagaimana mungkin seseorang diberi hak untuk menjadi anak-anak Allah kalau mereka tidak memiliki kehendak bebas?” Perhatikan baik-baik ayat ini. Yohanes sedang membahas soal perubahan total dari yang tadinya anak Iblis kemudian menjadi anak Allah. Manusia tidak melakukan apa pun, melainkan menjadi sesuatu! Kita menjadi anak Allah karena karya Allah, bukan karena ”kehendak-bebas” dalam diri kita. Yohanes menyatakan kepada kita suatu injil anugerah, yang tidak menuntut adanya kontribusi kita, yaitu kesempatan tak ternilai yang disediakan bagi setiap orang untuk menjadi anak-anak Allah, jika mereka percaya. Kesediaan dan iman percaya ini penting artinya karena mereka sebelumnya tidak punya pengetahuan apa pun mengenainya. Apalagi untuk bisa mengerjakannya menurut kuat hebat mereka sendiri. Manusia tidak bisa dengan sendirinya percaya kalau Kristus adalah Anak Allah dan Anak Manusia. Karena itu, bagaimana mungkin mereka bisa berkehendak dan sanggup untuk menerimanya? Yohanes tidak sedang membahas soal ”kehendak-bebas” melainkan kekayaan Kerajaan Allah yang dinyatakan kepada dunia melalui injil. Yohanes juga menunjukkan betapa sedikitnya manusia yang bersedia menerima injil, karena ”kehendak-bebas” secara alami akan menentangnya. Kuasa ”kehendak-bebas” memuncak pada ini – karena Iblis yang berkuasa atasnya, maka ”kehendak-bebas” akan menolak anugerah Allah. ”Kehendak-bebas” juga akan menolak Roh Kudus yang menggenapi Taurat di dalam kita, karena ”kehendak-bebas” menganggap bisa menaati Taurat dengan kuat hebatnya sendiri.
Manusia tidak bisa dengan sendirinya percaya kalau Kristus adalah Anak Allah dan Anak Manusia. Karena itu, bagaimana mungkin mereka bisa berkehendak dan sanggup untuk menerimanya?
Kamu kemudian mengutip Paulus untuk mendukung pemikiranmu. Padahal, Paulus adalah orang yang paling menentang soal ”kehendak-bebas”! Kamu mengutip Surat Roma 2:4, ”Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya, dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?” Kamu kemudian mempertanyakan: ”Bagaimana mungkin manusia dianggap bersalah jika mereka menganggap sepi soal ini jika mereka tidak memiliki ”kehendak-bebas”? Karena Allah adalah hakim yang menetapkan mereka bersalah, bagaimana mungkin Allah juga yang menghukum mereka?” Tidakkah kamu lihat pernyataan di Surat Roma 2:4 ini merupakan peringatan, dirancang supaya setiap orang fasik melihat ketidakberdayaan mereka? Setelah merendahkan hati mereka, Allah baru mempersiapkan orang itu untuk menerima anugerah-Nya.