Mintalah Anaknya Anda Untuk Memaafkan Anda

 


27 Juni 2016
Artikel oleh .
Editor Eksekutif, desiringGod.org


Saya tidak akan pernah melupakan peristiwa ketika ayahnya saya meminta maaf pada saya. Ada beberapa momen, kalau pun ada, yang begitu menarik; mengharukan; dan tak terlupakan seperti ketika ayah mengaku pada saya — ketika saya berusia lima atau tujuh atau sepuluh tahun — bahwa dia telah bereaksi berlebihan; dan bahwa dia merasa menyesal.

Saya sangat tersentuh, setidaknya dalam setiap kasus yang saya ingat, karena saya bukanlah seorang korban yang tidak bersalah. Ketidaktaatan, pemberontakan, dan ketidakdewasaannya saya menjadi faktor pemicu perselisihan kami. Sayalah yang berdosa terlebih dahulu. Saya tahu kalau sayalah yang bersalah.

Namun, ayah telah mengikuti pendalaman Alkitab. Hatinya menjadi lebih lembut terhadap firman Allah. Dia ingin perilakunya semakin selaras dengan Injil yang dicintainya itu. Bukan hanya di depan umum, melainkan juga secara pribadi. Bukan hanya sebagai dokter gigi dan diaken ketika dunia sedang mengawasinya, melainkan sebagai seorang ayah ketika hanya ada mata-kecil yang mengawasinya. Dia mulai menyadari fakta bahwa perilaku buruk anaknya pun bukanlah alasan baginya untuk melakukan tindakan yang berdosa. Dia pertama-tama belajar untuk mengenali dan mengakui dosanya sendiri; dan membuang balok-kayu dewasa dari matanya sendiri sehingga ia bisa lebih berhati-hati dan sabar dalam menghilangkan noda masa kanak-kanak dari matanya saya.

Baju Besi Barunya Kaisar

Beberapa dari kita mungkin merasa khawatir bahwa menjadikan diri kita rentan seperti ini terhadap anak-anak kita akan memperlihatkan celah terhadap otoritas kita sebagai orangtua. Tentu saja, kita tidak bisa membesarkan anak-anak kita , kata kita pada diri sendiri, jika kita telah melepaskan kedudukan kita yang tinggi itu . Pengalamannya saya sebagai seorang anak, dan sekarang sebagai orangtua dari anak kembar berusia enam tahun, menunjukkan bahwa hal ini tidak benar.

Ketika saya mendatangi mereka , dengan seluruh beban emosionalnya saya sebagai orang dewasa, mereka dapat dihancurkan dengan mudah. Namun, ketika saya datang kepada mereka, dan berdiri bersama-sama dengan mereka dalam mengakui dosanya saya dan menyadari kebutuhan saya akan penyelamatan Yesus yang berkelanjutan, maka saya tidak hanya memberikan contoh pertobatan di hadapan mereka. Namun, saya sendiri juga menjalani kehidupan Kristen yang sejati alih-alih membiarkan pengasuhan anak menjadi alasan untuk kemunafikan.

Saya tidak perlu menjadi sempurna untuk anak-anaknya saya. Yesus telah melakukan hal itu. Yesus memang sempurna. Anak-anak saya tidak membutuhkan saya untuk menjadi penyelamat mereka yang sempurna, namun untuk menunjukkan kepada mereka (dengan jujur mengakui dosanya saya) mengenai Sang Juruselamat kita . Faktanya, mereka sangat perlu mengetahui bahwa saya tidak sempurna; bahwa pengharapan utamanya saya bukanlah pada kebaikannya saya, melainkan pada kebaikan-Nya Yesus. Saya berdiri bersama mereka sebagai orang yang berdosa; yang lahir dalam dosa; yang sangat membutuhkan kasih karunia. Jika saya berusaha menyembunyikan celah dalam baju besiku—dan itu bukan sekadar celah, melainkan celah yang tak terhitung jumlahnya, bahkan lubang menganga—saya tidak sedang melindungi mereka, tetapi justru membahayakan mereka. Saya mempertegas mitos yang kita semua katakan pada diri kita sendiri bahwa pada suatu saat kita bisa menjadi cukup baik untuk mendapatkan perkenanan-Nya Allah.

Tiga Pelajaran untuk Orang Tua

Sulit untuk melebih-lebihkan dampak jangka panjang dari permintaan maaf ayahnya saya — terutama ketika sayalah yang paling bersalah. Dalam mengasuh anaknya saya sendiri, saya masih harus banyak belajar. Putra kami baru berusia enam tahun. Perjalanan kami masih panjang. Namun, temuan awalnya adalah ketika saya mengakui-dan-menyatakan dosanya saya sendiri, terutama ketika saya bereaksi berlebihan terhadap ketidaktaatan anak-anak saya,maka hal itu sudah membuahkan hasil dalam hubungan saya dengan mereka.

Kenyataannya, tidak ada suatu hubungan yang ketika kita menutupi berbagai dosa (dengan tidak mengakui dan menyatakannya) sebagai sesuatu yang strategis untuk dilakukan. Jika Anda, seperti saya, ingin bertumbuh dalam kerendahan hati dan inisiatif seperti ini sebagai orangtua, berikut tiga pelajaran yang saya pelajari dalam mencoba untuk mencintai putranya saya dengan mengingat dosa-dosanya saya.

1. Allah tidak hanya bekerja melalui saya sebagai orangtua, tetapi juga terhadap saya.

Menjadi orangtua bukan berarti saya telah lulus dari pertumbuhan dasar dalam Kekristenan. Namun, kemungkinan besar saya telah memasuki salah satu musim yang paling penting. Orangtua berjalan bersama anak-anak melalui masa perkembangan fisik yang intens, sementara Allah berjalan bersama para orangtua melalui masa perkembangan rohani yang intens. Ini bukan mengenai pertanyaan apakah kita berdosa terhadap anak kita. Semua orangtua berdosa terhadap anak-anaknya. Pertanyaannya adalah apakah kita mengenali dan mengakui dosa kita; serta meminta pengampunan dari anak-anak kita. Terlalu sedikit dari kita yang siap melakukan hal ini.

2. Pengakuan yang sejati adalah pengakuan yang tulus, bukan yang dibuat-buat.

Bahaya yang tersembunyi dalam artikel ini adalah Anda mungkin tergoda untuk membuat pengakuan tertentu kepada anak-anaknya Anda untuk sekadar membuahkan hasil tertentu. Anda dapat mengakui kelemahan dengan cara yang cukup mengagumkan, atau berpura-pura berduka terhadap suatu dosa, untuk menarik perhatian-dan-hati dari anak-anaknya Anda. Itu adalah manipulasi, bukan pengakuan yang sebenarnya. Ketika Anda mengakui dosa-dosanya Anda dan mengungkapkan kelemahannya Anda, kemungkinan besar anak-anaknya Anda akan terpesona. (Ada beberapa hal yang membuat putra kami tertarik seperti ketika saya bercerita tentang saat-saat “Ayah dipukul di pantat ketika masih kecil dahulu.”)

Namun, pengakuan yang tulus tidak berorientasi pada hasil. Hal ini timbul dari kesadaran kita akan sikap kita yang meremehkan Allah melalui perlakukan kita terhadap anak-anak; dan dari rasa duka yang tulus atas kegagalan kita memenuhi panggilan kita. Kita menyadari bahwa kita telah salah sebagai wakil-Nya Allah. Allah itu pengasih dan penyayang. Saya tidak berbelas kasihan dan menuntut. Dia lambat untuk marah. Saya tidak sabaran; mudah marah karena ketidaktaatan anak-anak. Dia berlimpah kasih setia dan kesetiaan. Saya egois dan tidak bisa diandalkan.

3. Permintaan maaf yang baik tidak diakhiri dengan kata “tetapi”.

Percakapan yang paling bermakna dengan anak-anak kita adalah percakapan ketika kita dapat mengakui kelemahan kita sendiri tanpa kemudian menyalahkan mereka. “Tetapi ketika kamu . . .” Biarkanlah permintaan maaf itu tetap ada. Berikan upaya terbaiknya Anda – dan ini bisa sangat sulit – untuk tidak langsung melanjutkan pengakuannya Anda dengan kata “tetapi” yang membuat anak tersebut kembali merasa disalahkan atas dosanya Anda.

Anda adalah orangtua; orang dewasa. Seringkali dosanya Andalah yang patut disalahkan, dalam arti tertentu, atas dosa anaknya Anda. Bukan sebaliknya. Anak-anak tidak hanya memiliki sifat berdosa. Mereka juga memiliki orangtua yang berdosa. Bahkan sebelum anak kita berbuat dosa, kita sering kali telah memainkan peran kita, dengan tidak menginvestasikan energi yang diperlukan untuk secara proaktif mengajar anak-anak kita; dengan jelas menetapkan berbagai aturan dasar yang masuk akal; dan menyampaikan berbagai tuntutan dengan baik.

Ya, meminta maaf memang menunjukkan kelemahan kita – sebagaimana anak-anak kita perlu melihatnya. Kita sebagai orangtua yang “dewasa” tidak berdiri bersama Allah di sisi lain dari kesenjangan besar yang jauh dari anak-anak kita yang berdosa tersebut. Kita mendampingi mereka sebagai orang-orang berdosa yang masih sangat membutuhkan kasih karunia Allah dan kuasa-Nya untuk melakukan perubahan.

***

Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "Ask Your Child to Forgive You."

You may also like...

Tinggalkan Balasan