Mengapa Orang Kristen Bergumul untuk Mengasihi?

 


21 April 2023
Artikel oleh Jon Bloom
Staf Penulis, desiringGod.org

Mengapa orang Kristen sulit sekali mengasihi satu sama lain? Saya tidak mengajukan pertanyaan ini hanya sebagai salah satu kritik dari kegagalannya Gereja – saya sudah cukup kesulitan menjawab catatan yang menonjol mengenai ketiadaan kasih dari matanya saya sendiri. Tentu saja, jawaban atas pertanyaan ini sama banyaknya dengan jumlah jawaban orang Kristen – bahkan lebih banyak lagi karena kita masing-masing punya banyak alasan mengapa kita merasa sulit untuk mengasihi Allah dan orang lain sebagaimana seharusnya.

Kita tidak terkejut jika umat manusia secara keseluruhan menganggap kasih yang dijelaskan dalam Surat 1 Korintus pasal 13 itu begitu sulit. Manusia telah terjatuh; sangat sulit bagi orang-orang berdosa yang terpisah dari Kristus untuk “menanggung segala sesuatu; percaya segala sesuatu; mengharapkan segala sesuatu; dan menanggung segala sesuatu” seperti halnya kasih.

Namun, yang mengejutkan kita adalah orang Kristen mengalami kesulitan dengan urusan kasih. Bagaimana mungkin kita yang sudah dilahirkan kembali; menerima hati yang baru; dan memiliki Roh Kudus yang memberdayakan kita masih merasa sulit untuk mengasihi Allah dengan segenap keberadaan kita; mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri; dan mengasihi sesama orang Kristen seperti halnya Yesus mengasihi kita? Bukankah hal ini seharusnya lebih mudah daripada yang kita alami pada saat ini?

Baik Perjanjian Baru (PB) maupun sejarah gereja selama dua ribu tahun menunjukkan “tidak”. Salah satu alasannya adalah Roh Kudus tidak diberikan kepada kita untuk secara ajaib mengubah kita untuk menjadi orang yang mengasihi seperti halnya Yesus. Roh Kudus diberikan pada kita sebagai Penolong (Yoh. 14:26) untuk mengajari kita untuk bagaimana mengikuti Sang Gembala Agung kita di sepanjang jalan transformasi yang sulit-dan-melelahkan untuk menjadi orang-orang yang penuh kasih seperti Yesus. Roh Kudus memungkinkan kita untuk mengasihi seperti halnya Yesus mengasihi, yang tidak mungkin terjadi tanpa Dia. Namun, Dia tidak memberi kita jalan pintas yang mudah untuk memiliki kasih yang seperti Allah.

Kuk yang Enak, Cara yang Sulit

Apa yang dimaksud dengan “jalan transformasi yang sulit-dan-melelahkan”? Bukankah Yesus bersabda, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” dan “kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (Mat. 11:28–30, TB)? Ya, Dia memang melakukannya. Namun, Ia juga bersabda, “… sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya” (Mat. 7:14, TB). Kedua pernyataan ini bukanlah kontradiksi. Keduanya merupakan dua dimensi yang berbeda mengenai apa artinya bertobat dan percaya kepada Injil.

Dalam urusan mendamaikan kita dengan Allah, Yesus melakukan semua pekerjaan berat yang diperlukan dengan “[menghapuskan] surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita” (Kol. 2:14, TB). Dalam hal ini, kuk-Nya Yesus itu memang enak: Ia membayar lunas hutang kita. Satu-satunya beban ringan yang dituntut dari kita adalah bertobat dan percaya kepada Injil.

Namun, jika kita bicara tentang dimensi bagaimana Allah menjadikan kita serupa dengan gambaran Anak-Nya (Rom. 8:29), yaitu “diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar” (2 Kor. 3:18, TB), maka caranya adalah cara-yang-sulit yang menuntun pada kehidupan. Dalam konteks ini, bagi kita, bertobat dan percaya kepada Injil berarti belajar berjalan dalam “ketaatan iman” (Rom. 1:5, AYT) — belajar untuk “hidup(lah) oleh Roh,… tidak (akan) menuruti keinginan daging” (Gal. 5:16, TB); belajar untuk hidup “layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal” (Kol. 1:10, TB).

Pembelajaran kita untuk berjalan di jalan-Nya Kristus juga merupakan karya kasih karunia -Nya Allah di dalam kita seperti halnya pembelajaran kita untuk percaya kepada Yesus untuk pengampunan dosa-dosa kita. Namun, hal ini menuntut kita untuk mengerjakan iman kita kepada Kristus dengan secara aktif menaati Kristus; yang akan bertentangan dengan keinginan dosa yang masih berada di dalam tubuh kita (Rom. 7:23).

Memang Seharusnya Sulit

Menurut PB, belajar untuk berjalan dalam ketaatan iman adalah sebagai berikut:

  • Menyangkal diri sendiri, memikul salib, dan mengikuti ke mana pun Yesus memimpin kita (Mat. 16:24)
  • Mematikan apa yang bersifat duniawi dalam diri kita (Kol. 3:5); dan tidak membiarkan dosa berkuasa dalam tubuh kita yang fana sehingga kita menuruti hawa nafsunya (Rom. 6:12
  • Setiap hari kita mati terhadap dosa; terhadap preferensi pribadi; dan bahkan terhadap kebebasan Kristen kita karena kasih kita pada Yesus; saudara dan saudari seiman kita; dan orang-orang yang belum percaya (1 Kor. 15:31
  • Kita tidak melakukan apa pun karena ambisi egois atau kesombongan, tetapi dengan rendah hati menganggap orang lain lebih penting daripada diri kita sendiri (Fil. 2:3
  • Kita mengenakan belas kasihan, kemurahan hati, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabar seorang terhadap yang lain dan mengampuni seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kita (Kol. 3:12-13
  • Kita tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi selalu berusaha berbuat baik satu sama lain dan pada semua orang (1 Tes. 5:15
  • Kita senantiasa bersukacita; berdoa tiada henti-hentinya; dan mengucap syukur dalam segala sesuatu (1 Tes. 5:16-18
  • Kita mengasihi musuh-musuh kita dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita (Mat. 5:44
  • Kita bergumul melawan para penguasa alam roh; para penguasa; para penghulu dunia yang gelap ini — melawan roh-roh jahat di udara (Efe. 6:12)

Semuanya ini hanyalah contoh. Namun, ini merupakan contoh yang cukup memadai untuk memberi kita gambaran mengenai betapa mustahilnya bagi kita untuk menaati perintah-perintah yang terutama – karena ini semua adalah ungkapan kasih kita kepada Allah; sesama kita; dan orang Kristen lainnya. Setiap orang yang menganggap serius mengenai keharusan ini menyadari bahwa cara kasih-yang-mengubahkan yang mengarah pada kehidupan itu memang sulit. Ini memang seharusnya sulit.

Namun, mengapa jalannya harus sesulit itu? Inilah salah satu cara-Nya Yesus untuk menjawab pertanyaan itu.

Hanya Mungkin Bersama Allah 

Ingatkah Anda mengenai kisah seorang pemuda kaya dalam Injil Matius 19? Ketika dipaksa memilih, dia tidak bisa melepaskan hartanya demi memiliki Allah, yang mengungkapkan bahwa dia lebih mencintai hartanya dibandingkan Allah; bahwa kekayaannya adalah ilahnya. Ketika Yesus memperhatikan orang itu berjalan pergi, Dia berkata, “Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Apakah Anda ingat mengenai tanggapan dari para murid? Mereka bertanya, “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?” Ketika mereka [seolah-olah] melihat di mana Yesus meletakkan palang [lompat tingginya], mereka menjadi tersadar: tidak ada yang bisa melompat setinggi itu. Itulah tepatnya yang dimaksud Yesus: “Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin” (Mat. 19:26, TB).

Kita semua, para murid, harus menyadari hal ini. Betapapun indah dan mengagumkannya secara moral ketika kita melihat berbagai perintah-kasih-Nya Yesus secara abstrak, kita tidak-dapat dan tidak-akan menaatinya dengan kekuatan kita sendiri. Tidak mungkin. Daging kita terlalu lemah. Sisa dosa kita terlalu kuat.

Itu merupakan sesuatu yang perlu diulang-ulang. Mustahil mengasihi seperti Yesus tanpa diberdayakan oleh Roh Kudus. Karena upaya untuk mengasihi Allah dan orang lain seperti halnya Yesus akan menyingkapkan-dan-menghadapi setiap dorongan dari sisa dosa dalam diri kita yang tidak suci; jahat; dan egois sehingga mengharuskan kita untuk setiap hari mematikan apa yang berada di dalam diri kita dan secara teratur menyangkal diri kita demi Yesus dan kebaikannya orang lain.

Tak satu pun dari kita yang akan secara konsisten dan terus-menerus berjalan di jalan yang sulit ini kecuali, melalui Roh, kita benar-benar “[melihat] kemuliaan Tuhan,” dan melihat semua kesulitan sebagai “penderitaan ringan yang sekarang ini” yang mengubah kita dari satu tingkat kemuliaan ke tingkat yang lebih tinggi dan mengerjakan bagi kita “kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya” (2 Kor. 3:18; 4:17, TB). Kita tidak akan menempuh jalan yang sulit ini kecuali kita melihat bahwa hidup menurut daging menuntun pada kematian, tetapi mematikan berbagai perbuatan daging oleh kuasa Roh akan menuntun pada kehidupan (Rom. 8:13) – bahwa memilih jalan yang sulit adalah memilih hidup yang berkelimpahan (Yoh. 10:10).

‘Ikuti Aku’

Ini tidak menjawab sejumlah pertanyaan yang membingungkan kita di sepanjang jalan-kasih. Kebanyakan di antaranya, jika dilihat dari sudut pandang kita yang sangat terbatas, mungkin memang tampak tidak masuk akal. Saya tahu. Saya sudah lama memikirkan pertanyaan seperti ini.

Namun, ketika saya terlalu berkecil hati dan kritis terhadap kegagalannya Gereja dalam mengasihi, maka sesuatu yang Yesus pernah dikatakan kepada Petrus sering kali membantu saya untuk berfokus kembali pada catatannya saya akan ketiadaan kasih — kegagalan dalam mengasihi yang merupakan tanggung jawab utamanya saya dan dapat saya kerjakan dengan kekuatan Roh, [maka sebaiknya saya] lakukan sesuatu. Ketika Yesus mengungkapkan kepada Petrus mengenai cara mati yang tidak menyenangkan yang akan dijalaninya, Petrus pada dasarnya bertanya, “Apakah Yohanes juga harus mati dengan cara yang tidak menyenangkan?” Yesus pada dasarnya menjawab, “Bagaimana aku memilih untuk berurusan dengan Yohanes bukanlah urusanmu. Ikutlah aku!” (Yoh. 21:21–22).

Allah telah merangkai begitu banyak tujuan misterius ke dalam cara Dia mengatur realitas. Saya terus belajar betapa tidak dapat diandalkannya persepsinya saya ketika harus menguraikannya. Saya bijaksana jika mengindahkan kata-kata Paulus: “[Jangan] menghakmi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang, Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati” (1 Kor. 4:5, TB). Saya bijaksana jika mengindahkan kata-kata Yesus, “Ikutlah Aku!”

Sebagai orang Kristen, maka panggilan utama kita pada saat ini adalah mengikuti Yesus, dalam kuasa Roh-Nya Yesus, melalui jalan yang sulit, yaitu kasih yang rela berkorban dan memuliakan Allah, yang menuntun pada kehidupan yang sangat mulia, berkelimpahan, dan kekal. Kita tidak bertanggung jawab atas kesaksian-kasih dari seluruh Gereja; atau bahkan seluruh gereja lokalnya kita

Namun, jika kita mau menyangkal diri; memikul salib; dan mengikut Yesus – betapa pun tidak sempurnanya kita semua dalam mengasihi kemuliaan dari sisi yang ini – maka kita akan semakin merasakan buah-kasih dari orang yang telah dilahirkan kembali oleh Roh: “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:35).

***

Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "Why Do Christians Struggle to Love?"

You may also like...

Tinggalkan Balasan