Yak. 1:19-20 (AYT)
…hendaklah tiap-tiap orang cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berbicara, dan lambat untuk marah. Sebab, amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran Allah.
Orang Kristen tidak mungkin identik dengan kegarangan. Marah-marah tidak mungkin menjadi keseharian kita. Sebaliknya, sebagai orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, ia harus mengenakan “belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran” (Kol. 3:12).
Lebih baik tinggal di padang gurun dari pada tinggal dengan perempuan yang suka bertengkar dan pemarah (Ams. 21:19). Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan. Orang yang menguasai dirinya melebihi orang yang merebut kota (Ams. 16:32).
Orang yang bisa mengendalikan amarahnya adalah orang yang rendah hati. Akar kemarahan adalah kesombongan. Ada sesuatu yang kita sombongkan sehingga kita merasa pantas-dan-berhak untuk marah.
Mengapa kita tidak berani marah kepada bos kita? Karena periuk nasi kita mungkin tergantung pada wewenangnya. Meskipun harus makan hati, bukankah kita akhirnya telan saja kalau ada yang tidak berkenan?
Sebaliknya, mengapa kita berani marah-marah kepada pembantu kita? Karena kita memandang rendah kepadanya sehingga kita merasa berhak memarahinya.
Karena itu, Yakobus mengingatkan kita untuk “cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berbicara, dan lambat untuk marah.” Orang yang sombong tidak mungkin orang yang bersedia mendengarkan. Mendengarkan menuntut kerendahan hati.
Mendengarkan pun ada 2 jenis, yaitu “listen to understand” dan “listen to respon”. Yang jenis kedua ini adalah mereka yang berpura-pura mendengarkan saja. Orang belum selesai bercerita, ia sudah tidak sabar untuk menjawab. Ia pasti orang yang “cepat untuk berbicara”/merespon.
Yang Alkitab tuntut dari kita adalah jenis yang pertama. Karena itu, kita harus “lambat untuk berbicara”. Kalau hati sedang panas, akal budi kita pasti tidak bekerja dengan baik. Jika hati masih panas, maka sebaiknya kita tidak berbicara/merespon dahulu. Tunggu sejam lagi. Kalau masih panas, tunggu sejam lagi. Tidak hanya berlaku bagi mulut kita, tetapi juga bagi jari kita (di sosmed).
Setiap kali kita tergoda untuk marah-marah, marilah kita ingat kalau marah-marah sama berdosanya dengan berzinah di hadapan Allah. Marah-marah dan berzinah itu sama-sama “tidak mengerjakan kebenaran Allah”.
Jika kita sudah terbiasa untuk “cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berbicara” maka biasanya kita akan menjadi “lambat untuk marah”. Memang perlu waktu untuk berubah. Namun, yang penting sudah dimulai proses perubahan itu.