Bahaya Rohani dari Keterasingan
26 April 2022
Artikel oleh Marshall Segal
Staf penulis, desiringGod.org
Orang yang menyendiri, mencari keinginannya, amarahnya meledak terhadap setiap pertimbangan. (Ams. 18:1)
Pada Maret 1876, Alexander Graham Bell melakukan panggilan telepon pertama, yang, lambat laun, mengubah cara kita berhubungan antara satu sama lain secara dramatis. Sekilas, revolusi komunikasi tampaknya membuat keterasingan menjadi spesies yang terancam punah — bukankah kita sekarang lebih terhubung dari sebelumnya? Namun, orang bertanya-tanya apakah keterasingan pada akhirnya bermutasi menjadi sesuatu yang lebih tak kentara dan juga sama berbahayanya (mungkin bahkan lebih berbahaya karena menjadi tak kentara). Setidaknya satu sosiolog yang terkemuka menjadi khawatir akan hal itu:
Kita kesepian, tetapi takut akan keintiman. Koneksi digital dan robot-yang-ramah menawarkan ilusi pertemanan tanpa adanya tuntutan persahabatan. Kehidupan berjejaring kita memungkinkan kita untuk bersembunyi dari satu sama lain bahkan ketika kita terikat satu sama lain. Kita lebih suka mengirim pesan daripada berbicara (Sherry Turkle, Alone Together, 1).
wAtau, seperti yang dinyatakan oleh subjudul bukunya beliau, ”Kita mengharapkan lebih banyak dari teknologi dan lebih sedikit dari satu sama lainnya.” Setiap kali kita berharap lebih sedikit dari satu sama lainnya, kita pasti menjadi hanyut semakin jauh dari satu sama lain; membuat kita sama terasingnya (atau lebih terasing) dengan orang yang kesepian sebelum adanya telepon.
Keterasingan Seperti Apa?
Beberapa orang mungkin membaca beberapa paragraf terakhir dan diam-diam merasa iri ketika tidak ada yang menelepon, mengirim email, mengirim SMS, atau (paling buruk?) meninggalkan pesan suara. Kehidupan dengan lebih sedikit orang mungkin terdengar menarik. Anda mungkin kesulitan untuk memahami kemungkinan bahaya keterasingan. Akan tetapi, hikmat mengetahui bahaya yang bersembunyi di balik bayang-bayang keterasingan kita: ”Orang yang menyendiri, mencari keinginannya, amarahnya meledak terhadap setiap pertimbangan” (Ams 18:1).
Keterasingan seperti apa yang berada dalam pikiran orang berhikmat itu? Ayat berikutnya memberi kita gambaran yang lebih jelas:
Orang bebal tidak suka kepada pengertian, hanya suka membeberkan isi hatinya. (Ams 18:2)
Dia tidak ingin mendengar mengenai apa yang dipikirkan orang lain. Dia hanya ingin seseorang mendengar mengenai apa yang dipikirkannya. Ini menyerang saraf utama dalam kitab Amsal. Ketika ayah-yang-bijak ini mempersiapkan putranya untuk menghadapi kenyataan hidup di dunia yang liar dan mengancam, maka dia ingin anaknya melihat bahwa beberapa ancaman terbesar berasal dari para penumpang gelap; yang menyerang dari dalam. Dia memperingatkannya, khususnya, tentang kekuatan penghancur dari kesombongan yang tidak terkendali.
Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan (Ams 3:7). Jika engkau melihat orang yang menganggap dirinya bijak, harapan bagi orang bebal lebih banyak dari pada bagi orang itu (Ams 26:12). Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut (Ams 14:12).
Kita belajar bahwa orang yang sombong melawan semua pertimbangan karena dia mengundang kehancuran pada dirinya sendiri. Kesombongan membuat keterasingannya menjadi berbahaya: Saya tidak menghabiskan lebih banyak waktu dengan orang lain karena saya tidak membutuhkan orang lain — karena saya tahu lebih banyak daripada orang lain. Kesombongan ini yang membedakan keterasingan (isolation) dan menyendiri (solitude); yang memang dianjurkan Allah berkali-kali (Maz. 46:10; Mat. 6:6; Mar. 1:35).
Jalan yang menuju maut adalah jalan yang kita pilih untuk diri kita sendiri ketika kita menolak komunitas yang berarti — hubungan yang ditandai dengan kejujuran, nasihat, koreksi, dan dorongan yang konsisten.
Sendirian dengan Keinginan Kita
Apa yang menarik kita ke dalam bayang-bayang rohani keterasingan? Keinginan egois kita sendiri. ”Orang yang menyendiri, mencari keinginannya.” Setiap kali seseorang meninggalkan atau menghindari komunitas yang dibutuhkannya, dia telah terpikat oleh keinginan penuh dosa — keinginan akan privasi atau otonomi; untuk kenyamanan atau kemudahan; untuk uang atau seks; bahkan untuk pembenaran atau balas dendam. Pada dasarnya, keinginan kitalah yang memisahkan dan mengisolasi kita:
Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi (Yak 4:1-2).
Keinginan yang menjauhkan kita dari satu sama lain memang bervariasi, tetapi semuanya berakar pada ketidakpuasan-yang-egois. Kita menginginkan dan tidak memiliki. Jadi, kita melepaskan diri kita sendiri dari kasih — baik dengan menyerang satu sama lainnya atau dengan meninggalkan satu sama lainnya. Keinginan kita, kata Kitab Suci, adalah yang mengucilkan dan menghancurkan kita (Yud. 1:18-19). Misalnya, renungkanlah mengenai si pemalas:
Si pemalas dibunuh oleh keinginannya,
karena tangannya enggan bekerja.
Keinginan bernafsu sepanjang hari,
tetapi orang benar memberi tanpa batas (Ams 21:25-26).
Si pemalas mati dalam dosa karena ia telah dikeraskan oleh tipu dayanya: ”Waspadalah, hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad dari Allah yang hidup. Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan ‘hari ini,’ supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa” (Ibr. 3:12-13). Kapan pun kita mengasingkan diri dari sudut pandang, dorongan, dan nasihat orang lain, maka kita membuka diri lebar-lebar terhadap tipu daya dosa. Mengapa tipu daya dosa begitu menarik? Karena Iblis mempelajari dan memangsa keinginan kita. Dia adalah seorang tukang kebun yang ulung; yang dengan hati-hati menabur keegoisan, ketidakpuasan, dan kepahitan di tempat yang tepat.
Namun, komunitas yang konsisten-dan-bermakna akan mengekspos dan menghalanginya. Komunitas ini mengungkapkan betapa tipis dan dangkal kebohongannya; dan seberapa jauh keinginan kita terkadang bisa mengembara.
Manisnya Seorang Sahabat
Kebalikan dari keterasingan yang menghancurkan jiwa, bagaimanapun, adalah kehidupan yang berakar dalam di hati dan nasihat teman baik. ”Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa,” Amsal 11:14 memperingatkan, ”tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada.” Seperti yang sering kali terjadi, maka hikmat, keberhasilan, dan keselamatan tumbuh dari kerendahan hati — dari kesediaan untuk menyerahkan pikiran dan rencana, impian dan keinginan, dosa dan kelemahan kita pada orang lain.
Orang yang paling efektif dan berhasil itu cukuplah mereka yang tidak mempercayai diri mereka sendiri dan rajin mencari bimbingan — bukan sekadar tiga atau empat kali seumur hidup, tetapi beberapa kali setiap bulan, bahkan mungkin setiap minggu. ”Rancangan gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasihat banyak” (Ams 15:22; lihat juga 20:18) — perhatikan, bukan hanya pertimbangan, tetapi banyak penasihat. Bukan hanya banyak penasihat, tetapi penasihat yang tepat. ”Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih karib dari pada seorang saudara” (Ams. 18:24). Artikel, khotbah, dan podcast dapat menjadi hadiah yang luar biasa. Namun, kita semua membutuhkan perspektif dari manusia hidup yang hadir secara nyata untuk kepribadian, perjuangan, dan keadaan kita yang istimewa. Kita membutuhkan teman yang dapat menatap mata kita secara langsung dan melihat apa yang tidak dapat dilakukan oleh siapa pun secara online.
Jadi, siapakah penasihat Anda? Siapa yang cukup mengenal Anda untuk menantang rencana dan keputusan Anda? Kapan terakhir kali seseorang mendorong kembali sesuatu dalam hidup Anda? Jika Anda tidak dapat mengingatnya, Anda mungkin lebih terasing daripada yang Anda pikirkan, setidaknya dalam hal yang benar-benar penting.
Luka Dari Kebersamaan
Salah satu caranya Iblis mengisolasi kita adalah dengan meyakinkan kita bahwa nasihat-dan-koreksi yang kita butuhkan malahan akan membebani, bukannya memberi kehidupan. Namun, baik Kitab Suci maupun pengalaman hidup bersaksi melawannya:
Lebih baik teguran yang diungkapkan
daripada kasih yang disembunyikan.
Luka-luka seorang sahabat dapat dipercaya,
tetapi ciuman musuh berlimpah-limpah…
Minyak dan wewangian itu menyenangkan hati,
begitu juga manisnya seorang teman datang dari nasihatnya yang tulus (Ams 27:5-9, AYT).
Kehidupan dalam komunitas yang benar bukanlah kehidupan yang mencekik, tetapi kehidupan yang ditingkatkan. Nasihat yang setia dapat melukai kita pada saat itu, tetapi hanya semata-mata supaya nasihat itu dapat menyembuhkan dan melindungi kita. Seperti yang dikatakan Ray Ortlund,
Ketika besi menajamkan besi, maka itu menciptakan gesekan. Ketika seorang teman melukaimu, maka itu menyakitkan. Jadi, bisakah Anda melihat perbedaannya? Ada perbedaan antara melukai seseorang dan membahayakan seseorang. Ada perbedaan antara seseorang yang dikasihi dan seseorang yang merasa dikasihi. Yesus mengasihi semua orang dengan baik, dan beberapa orang merasa terluka. Jadi, mereka kemudian menyalibkan-Nya. Jika kita tidak memahami hal ini, maka setiap kali kita merasa terluka, kita akan mencari seseorang untuk disalahkan dan dihukum. Kita akan menjadikan keadaan emosi kita sebagai kesalahan orang lain. (Proverbs, 168)
Jangan menilai gereja, kelompok kecil, atau persahabatannya Anda dengan betapa terlukanya Anda ketika kata-kata keras datang padamu. Tanyakanlah mengenai apa yang dihasilkan kata-kata keras itu dalam diri Anda dari waktu ke waktu. Apakah gesekan yang Anda rasakan perlahan-lahan menarik Anda lebih dekat pada Kristus dan membuat Anda semakin serupa seperti-Nya? Apakah rasa sakit yang Anda rasakan dalam percakapan tertentu membawa Anda selangkah lebih dalam ke pertobatan? (2 Kor. 7:10). Jika demikian, maka lukanya Anda mungkin adalah luka yang menyembuhkan dari teman-teman yang setia — teman-teman langka yang layak dipertahankan dengan cara apa pun.
Penawar untuk Keterasingan
Nasihat praktis apa yang akan saya berikan pada seseorang yang menyadari bahwa dia lebih terisolasi daripada yang dikiranya? Saran pertama saya adalah menemukan, bergabung, dan melayani di gereja lokal.
Persahabatan adalah senjata yang hebat untuk melawan keterasingan rohani. Namun, satu perjanjian yang berarti dengan keluarga gereja senilai dengan sepasukan persahabatan. Ketika keinginan kita mulai mengeraskan kita pada Tuhan, firman-Nya, dan kehendak-Nya, maka teman-teman kita mungkin akan tinggal dan berjuang bersama kita. Namun, gereja kita telah bersumpah untuk tinggal dan berjuang — sampai kematian mengantar kita bersama, tanpa dosa, ke hadirat Yesus.
Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat (Ibr 10:24-25).
Keterasingan mati dalam gereja yang tahu bahwa mereka saling membutuhkan (dan ingin) untuk berkumpul. Bagi mereka, Minggu pagi bukanlah sekadar tambahan yang manis untuk kehidupan yang penuh-dan-bahagia, melainkan dasar dari kehidupan yang penuh-dan-bahagia. Allah bermaksud agar kita mengenal-Nya; melayani-Nya; menikmati-Nya; dan menjadi seperti Dia sebagai bagian dari tubuh Kristus. Semakin kita terisolasi, maka semakin kita memisahkan diri dari sumber rahmat, belas kasihan, dan bimbingan-Nya.
***
Artikel ini diterjemahkan dari desiringgod.org dengan judul "Me, Myself, and Lies The Spiritual Dangers of Isolation."